Skip to main content

Yanti Nasution: Kita Seperti Menderita Sakit Kusta, Semua Menjauh

"Pada saat itu banyak hal dilarang, tidak boleh pergi, tidak boleh memenuhi undangan, ya kalau ibu saya bilang kita seperti menderita sakit kusta gitu, semua menjauh dari kita." Yanti Nasution, Putri Sulung Jenderal Besar AH Nasution


Sore itu saya datang ke sebuah perumahan tepat di belakang Mall Gandaria City. Obrolan yang dimulai sekitar pukul setengah lima sore itu baru usai sekitar pukul 7 malam. Kami menemui Hendrianti Sahara Nasution, putri sulung Jenderal Besar A.H Nasution. Salah perwira paling berpengaruh kala Orde Lama berkuasa.

Tak bisa dipungkiri pengaruh Pak Nas di Angkatan Darat sangatlah kuat. Bahkan Presiden Soeharto berada 3 tingkat pangkat dibawah Pak Nas.

Menghindari adanya matahari kembar Soeharto mulai menjauhkan  Nasution dari tampuk kekuasaan.

Setelah membubarkan MPRS pada tahun 1972, Nasution tak memiliki kekuasaan apapun baik di lembaga pemerintah maupun di angkatan bersenjata. 

Keluarganya-pun mendapat diskriminasi dari pemerintah Orde Baru.


Yanti Nasution, Putri Sulung Jenderal Besar AH Nasution

43:35:17 – 44:40:10


"Kami sangat merasakan diskriminasi. Itu saya merasakan pada tahun 1973 semua fasilitas di rumah itu ditarik, sampai pernah ditagih uang listrik. Air pam diputus, kami bikin sumur sendiri, saya juga bingung, tadinya kan dapet fasilitas negara ditarik sama sekali, penjagaan ditarik dan semua fasilitaslah ditarik..

Gaji bapak itu dipotong habis-habisan. Hampir setara letnan. Tapi Bapak dan Ibu ikhlas, itu yang banyak belajar dari beliau berdua. Keikhlasannya luar biasa.

Pada saat itu banyak hal dilarang, tidak boleh pergi, tidak boleh memenuhi undangan, ya kalau ibu saya bilang kita seperti menderita sakit kusta gitu, semua menjauh dari kita. Keluarga juga takut datang karena ada keluarga yang diancam kalau datang, tidak naik jabatan atau dikeluarkan....

Jadi ya begitulah keluarga kami dijauhi"

Disitu. Mata Bu Yanti berkaca-kaca. Ada nafas panjang yang ditarik. 

Beberapa hal tidak bisa kami ceritakan karena request dari Bu Yanti. 

Cerita tentang beberapa orang yang mungkin kita kenal, begitu menyanjung dan dekat dengan keluarga Nasution sebelum MPRS dibubarkan dan berubah drastis saat Pak Nas tak memiliki kuasa apa-apa.

Bahkan ada sahabat dekat keluarga yang tak bertegur sapa bahkan menoleh sedikitpun ketika berjumpa di Pasar.

 
Tindakan represif kepada Pak Nas dan keluarga semakin menjadi ketika Pak Nas bergabung dalam gerakan Petisi 50. Sekelompok negarawan, politisi senior, dan mantan Jendral yang memprotes penggunaan Pancasila dan ABRI sebagai alat politik Soeharto.


“Soeharto tidak mau menerima petisi itu dan tidak hanya itu, terhadap orang-orang yang menandatangani petisi itu berlaku semacam kematian perdata, jadi dalam arti mereka dikucilkan, mereka dihancurkan dan bahkan sampai-sampai mereka itu tidak memiliki kebebasan, yang menandatangani dan siapapun yang berhubungan dengannya, gerak-geriknya diawasi"- Prov Asvi Warman Adam, Peneliti Politik Senior LIPI

You sudah tau Soeharo tidak suka Nasution, jangan sampai security mengijinkan Nasution berada di satu ruangan bersama Soeharto, bukan Soeharto yang ngomel, aparatnya itu untuk menyenangkan Soeharto” - Prof Salim Said, Sejarawan


Meski anak Jenderal yang dikenal sangat anti PKI, Bu Yanti harus ikut screening anti PKI pada 1980-an. Screening ini dilakukan ketika ia membuka usaha kecil-kecilan sebagai distributor berbagai minuman ringan ke warung-warung.

“Wah itu saya ditanya macam-macam, apalagi tahu saya anak Nasution. Semakin banyak pertanyaan yang mengada-ada, saya lupa detailnya, yang saya ingat saya dipersusah aja mau bikin usaha....

Macam-macam yang saya lakukan untuk bertahan hidup. Tidak ada yang tahu saya jadi tukang jahit, saya jadi jual teh botol. Karena semua garis kehidupannya ditutup.....


Ya sudah kenapa saya mesti malu, tapi dengan itu saya merasa terimakasih, saya mengerti kehidupan akhirnya kan..... 


Ya saya itu jadi tukang jahit, usaha cleaning service dimacam-macam gedung...


Itu dari tahun 1978 ya sampai tahun 90 sekian gitu, saya jual kompor, jual apa saja yang bisa saya lakukan, karena suami saya kan juga dicekal"

 

Edward Nurdin, suami Bu Yanti juga diberhentikan dari TNI-Angkatan Udara tanpa sebab yang jelas pada 1976. "Setelah saya pikir tahun-tahun setelahnya, dan semua perlakukan ke keluarga kami, saya sadar. Saya disuruh mundur karena menantu Nasution"

 



"Kesedihan itu sudah pasti yaa, cuman kalau kedua orang tua saya itu beragama ya jadi memang ini semua memang masih dalam hidupnya itu berjuang untuk negara ini apapun diterima dengan ikhlas ya, cobaan kehilangan adik saya dengan ikhlas dengan semangat berjuang untuk negara ini, itu yang dilaksanakan kedua orang tua saya"

Ayahanda  Bu Yanti Jendral Besar AH Sasution hanya satu dari banyak rival yang hidupnya dibuat tak tenang oleh Soeharto selama bertahun-tahun.

Semua oposan Soeharto juga dicekal, akses ekonominya dimatikan, ruang publiknya dibatasi, gerak-geriknyapun diamati.


“Soeharto itu disebut sebagai smiling general, tapi kalau bisa ya menambahjkan, dia tersenyum sambil membunuh musuh-musuh politiknya" - Prof Asvi Warman Adam, Peneliti Senior Politik LIPI

"Di awal Orde Baru kita sudah mengatakan, mengingatkan, janganlah Orde Baru menjadi kelanjutan Orde Lama ternyata banyak sekali persamaan, yang berbeda cuma satu komunis sudah di bubarkan, 

yang lain sama pada prinsipnya, kebebasan pers dikekang pelanggaran ham terjadi, kenapa ? karena negara ini otoriter dan orang yang paling berkuasa adalah Pak Harto" - Prof Salim Said, Sejarawan.


Setelah tahun 1974 Soeharto semakin mantab memegang kendali. 


Jendral-jendral yang setia akan diberikan jabatan dan kewenangan, sementara yang membangkang akan dibuang.

 

Yang setiapun harus waspada, karena jika  terlalu bersinar maka Sang Presiden akan mematikan sinarnya tanpa ampun, apalagi sungkan.

 

Kekuasaan Soeharto perlahan namun pasti dibangun dengan fondasi berbagai elemen, menempatkan orang kepercayaan dalam sistem pemerintahan, mengekang para pembakang dan menjauhkan pers dari kebebasan. 

Menghasilkan rezim dengan dua mata pedang, mendorong pembangunan sekaligus mempertahankan jalan kekuasaan.


Selanjutnya

Barisan Jenderal yang Ditendang Presiden Soeharto klik di sini


Topik Presiden Soeharto lain :

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said klik di sini

The Rise of Soeharto dan Persekusi Massal 1965 klik di sini

Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...