Skip to main content

Gede Pangrango, awal Mantan lalu Manten

Banyak yang mengatakan haram hukumnya balikan dengan mantan. Untungnya bapak ibu-mu tak menganut paham itu Flores. Kalau itu berlaku bagi salah satu saja dari orangtuamu nak, maka dipastikan kowe ra ono le :D 



Awal minggu pertama November 2014. Beberapa pekerja TV ingin naik gunung tanpa memikirkan segmentasi, jadwal shooting, naskah, dan materi on cam host. Berawal dari sekitar tiga orang, ajakan nanjak Gede Pangrango ini akhirnya menggaet beberapa orang. Termasuk mantan saya kala itu. 

X : Bong, akhir minggu ada acara?
Saya memulai pembicaaraan dengan panggilan yang sama waktu kami masih jadian. hahaha 

Y : Nggak ada, kenapa?
Dibales mungkin sekitar sejam kemudian.

Y : Naik gunung yuk, Gede Pangrango
X : Sama siapa aja?
Dibalas cepat. Nada terdeteksi dingin. Seperti enggan, tapi tertarik, jual mahal lebih tepatnya.

X : Sama A,B,C,D,E,F,G,H,I,J,K banyaklah
Y : Oh Oke, aku nggak pernah naik gunung lho
Aha. sinyal tertarik mulai terendus sodara-sodara.

Singkat kata, singkat cerita sang mantan akhirnya ikutan juga. dan akhirnya 9 orang ini berangkat. Naik apa? naik mobil salah satu tv berita tetangga. Jangan tanya kok bisa, tanya saja om Popo hahaha. Dan inilah paka pekerja TV yang  waktu itu sakaw vakansi.

Siap-siap dari kantor.

start point

Gunung Gede Pangrango memiliki tiga jalur pendakian yakni Cibodas, Gunung Putri dan Selabintana. Jalur yang dipilih Om Popo dan Mas Ading waktu itu adalah jalur Gunung Putri. Jalur yang dipilih ini menantang, selain terjal, jalur ini juga minim sumber air. Setelah melewati kebun warga sekitar sejam, kami dihajar trek nanjak minim bonus.





Jalur lumayan menantang bagi kami yang jarang naik gunung. Kebetulan 8 dari 9 orang terdeteksi sering naik gunung, ada yang hobi ada pula yang karena kewajiban liputan. Termasuk saya yang sebenarnya bukan pendaki, tapi akhirnya ditempa jadi pendaki karena pekerjaan. 

Nah buat si Mantan ini pendakian pertamanya. Terbukti kostum yang digunakan buat nanjak adalah celana tidur tipis dan dan jeans biru, plus baju tipis kayak saringan tahu. Hahaha

"Ini ada penyewaan helikopter nggah sih langsung sampai ke atas?" 
celetuk si mantan yang disambut tawa lainnya.


Si mantan (pojok kiri bawah) terlihat enggap hahaha.

Selama pendakian saya dan mantan curi-curi pandang. Sempat saya mengulurkan tangan untuk mebantu dia di tanjakan curam. Brssst. Nyetrum sodara-sodara. hahahaha. Itulah kenapa akhirnya saya memilih jaga jarak, tidak tepat di belakang atau di depan dia. Kalau kesetrum terus bahaya pemirsa. 😀😂

Si Mantan tepar. perhatikan dengan seksama hahaha

Kami baru tiba di Alun-alun surya kencana jelang magrib. Karena memegang teguh pedoman alon-alon asal kelakon total pendakian kami memakan waktu sekitar 10 jam perjalanan. Kami memilih memilih berkemah di tepian Alun-alun, di antara pepohonan rindang. Buka tenda, makan, istirahat dan obrolan malam tak penting di antara para lajang yang kini sudah beranak pinak.




Om Popo. Mas Ading. Saya. Mantan. Gadhis. Tanti. Dila. Bobi. Resna, Aris.

Alam selalu punya cara untuk membuat saya betah berlama-lama. 
Angin sepoi, suara hewan malam, dan gesekan daun serta ranting pepohonan memang bikin nyaman.


Obrolan ringan, kadang filosofis, hingga topik sampah muncul ke permukaan.

Termasuk potensi saya dan mantan balikan. hahahaha


Trip Gede Pangrango kali itu jadi pembuka jalan saya dan si mantan.

Tanpa ada kata jadian, dua tahun kemudian kami menikah. Dari mantan jadi manten.



Setelah menikah, kami akhirnya kembali nanjak bareng ketika ke Sikunir, Dieng. Kali ini bertiga, karena Flores ikut serta. 

Cerita pendakian Sikunir ini jadi bagian dari perjalanan terimpulsif kami di pertengahan 2019. Nanti saya cerita lagi.


 

Comments

  1. Emang bangsad Lo bon, wkwkwkwkw
    Keren keren , ditunggu tulisan berikutnya , menghibur buat dibaca sambil jongkok di tiolet, hahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahahaha Om Popo the legend, "kamu di mana?"

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...