Skip to main content

Barisan Jenderal yang Ditendang Presiden Soeharto

Dipilihnya Soeharto sebagai Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban pasca-G30S membuat Soeharto mendapatkan dukungan petinggi-petinggi TNI AD, diantaranya adalah trio  jendral Kemal Idris. HR Dharsono dan Sarwo Edhi Wibowo yang memiliki andil penting dalam penangkapan simpatisan PKI di sejumlah wilayah di Indonesia.



Beberapa sejarawan menyebut ketiga jendral ini ‘kingmaker’ karena dianggap tak hanya mematikan PKI hingga ke akar, namun juga mempersempit ruang gerak loyalis Soekarno, sekaligus menggalang dukungan bagi Soeharto.


Seiring makin tegaknya rezim Orde Baru ketiga kingmaker ini dianggap sebagai bintang baru dan memiliki potensi untuk merebut kekuasaan. Jendral yang melancarkan jalan kuasa Soeharto ini justru ditendang dari pusaran kekuasaan.


Prof Salim Said

Akademi Kebangsaan, 14 November 2018

00 : 09 : 51 : 24 -  00 : 10 : 18 : 15

“Mereka ini adalah pemimpin-pemimpin pasukan yang antipati kepada Soekarno dan musuhnya PKI, setelah soal PKI ini diselesaikan maka Soeharto menyingkirkan mereka”



Soeharto melepas jabatan Kemal Idris dari Pangkostrad dan mengirimnya ke Makassar sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan untuk menjauhkannya dari Ibu Kota.


Beberapa tahun berselang, Kemal Idris dilempar lebih jauh lagi ke Yugloslavia dan Yunani untuk menjadi duta besar RI.



Panglima Siliwangi HR Dharsono dilempar ke Bangkok, Thailand juga untuk menjadi duta besar.

 

Sementara itu Sarwo Edhi Wibowo pada tahun 1970 diangkat menjadi Gubernur ABRI sebuah posisi tanpa pasukan tempur yang kuat, sebelum akhirnya menyusul Kemal dan Dharsono didubeskan ke Korea Selatan pada tahun 1978.



 

Bonnie Triyana, Pemred Historia

Redaksi Historia, November 2018

12:20:00 – 15:52:16

 

“ketika Soeharto dipilih menjadi presiden melalui pemilihan umum pertama kita pada masa Orde Baru 1971 dia juga banyak dikelilingi loyalis-loyalisnya dari angkatan darat. Namun pada perkembangan selanjutnya loyalis-loyalis ini menjadi semacam rising star yang ada istilah tidak boleh ada matahari kembar”


Di awal pemerintahannya Soeharto memiliki empat jenderal kepercayaan  di lingkaran dalam. Semuanya loyal dan rata-rata jenderal yang membidangi intelijen.


Mereka adalah Letjen Yoga Sugama yang menempati posisi kepala badan koordinasi intelijen negara.


Mayjen Benny Moerdani yang menjabat asisten intelijen Menteri Pertahanan.



Laksamana Sudomo yang menjabat Pangkopkamtib



Dan Letjen Ali Moertopo yang menjadi Wakil Kepala Bakin.



Jenderal-jenderal inilah yang disebut sebagai pendekar Orde Baru, arsitek  sekaligus pengaman langgengnya awal kekuasaan Orde Baru.



17 Januari 1974  menjadi gejolak pertama pemerintahan Orde Baru.


Disaat Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei datang membicarakan investasi Jepang di Indonesia, ratusan mahasiswa melakukan demonstrasi menolak dominasi investor asing.

 

Dari ratusan orang, demonstrasi ini membesar dan berujung pada  kerusuhan hebat.

 


Desas-desus bahwa jendral kepercayaan Soeharto ada dibalik peristiwa Malari membuat Soeharto lebih selektif memilih orang-orang kepercayaannya.


Peristiwa Malari membuka mata Soeharto bahwa lawan-lawan politiknya mulai bermunculan, tak selalu oposan tapi bisa jadi jendral kesayangan.

  



Bonnie Triyana, Pemred Historia

Redaksi Historia, November 2018


12:20:00 – 15:52:16

“Salah satu orang pertama yang disingkirkan adalah orang yang sangat loyal dengan Soeharto, Ali Murtopo....


seorang jendral, seorang intelejen yang terkenal cerdas, dia menggerakkan satu operasi khusus yang sudah berjalan sejak 1965 bahkan 1964, operasi ini justru melakukan kontak-kontak intelejen dengan Malaysia yang pada masa Soekarno berkonfrontasi....

Nah dia kemudian dijadikan asisten ataupun asisten pribadi dan juga staf khususnya Presiden Soeharto, namun dia dianggap menjadi salah seorang yang rising star dan mulai disingkirkan dan berakhir karirnya sebagai Menteri Penerangan"

 

Prof Asvi Warman Adam, Peneliti Politik Senior LIPI

Gedung LIPI, Jakarta, November 2018



23:41:22 – 28:37:09

"Kita tahu hubungan Benny Moerdani dengan Soeharto ini menjadi merenggang ketika Benny mulai mengkritik Soeharto, memberikan saran pada Soeharto tentang bisnis anak-anak Soeharto yang sudah menggurita.

 

Dan kita tahu bahwa Soeharto sendiri berprinsip mengatakan bahwa anak dia adalah warga negara, tentunya berhak melakukan bisnis dan lain-lain sebagaimana orang lain....



Tapikan persoalannya adalah kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada anak Soeharto itu sangat-sangat berlebihan dan itu yang mendapatkan kritikan dari orang dalam seperti Benny Moerdani itu misalnya tapi itu juga yang menyebabkan ia tersingkir"

 

 

Prof Salim Said

Akademi Kebangsaan, 14 November 2018

00 : 12 : 18 : 14 – 00: 12 : 59 : 10

“Kalau you baca bae-bae pelajaran sejarah kekuasaan Pak Harto orang-orang itu dipakai, apabila tiba tingkat orang-orang itu dipandang sebagai ancaman orang-orang itu disingkirkan”

 


Prof Asvi Warman Adam, Peneliti Politik Senior LIPI

Gedung LIPI, Jakarta, November 2018

23:41:22 – 28:37:09

 

Nah ketika itu Soeharto sangat-sangat berhati-hati di dalam memilih orang-orang yangn ia percayai. Dia mulai mengangkat orang-orang itu melalui ajudanisasi jadi orang-orang yang dianggap baik dari kalangan tentara atau polisi itu diangkat dulu jadi ajudan......

 

Nah ajudan bertahun-tahun ini sebagai testing juga apakah orang-orang itu setia pada Soeharto. Soeharto dapat melihat kepribadiannya, kebiasaannya dan lain-lain, sehingga kita tahu mereka yang kemudian berkarir di militer atau kepolisian itu adalah ajudan-ajudan dari Soeharto. Nah kemudian proses ini adalah proses yang dianggap aman bagi Soeharto.

 

 

Tak hanya jenderal-jenderal kesayangan, senior Seoharto, Jendral  Besar AH Nasution-pun dijauhkan dari pusat kekuasaan.


Seandainya terlewat :

Yanti Nasution: Kita Seperti Menderita Sakit Kusta, Semua Menjauh

klik di sini





Topik Presiden Soeharto lain :

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said klik di sini

The Rise of Soeharto dan Persekusi Massal 1965 klik di sini

 

Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...