Masih setengah enam, tapi lusinan orang bergerombol antri di depan lapak pecel empog Mak Panin, di Pasar Besar kota Batu.
Tenang, jarang ada turis. Selera lokal. Tak akan ada yang tiba-tiba ber-gw lo di sini.
“Bu sekul pecelipun tigo, sego empog sekawan”
Lebaran hari kedua adalah saat untuk “jajan”. Setelah hari pertama babak belur dihajar aneka rupa masakan bersantan, lontong dan ketupat. Pagi hari biasanya saya, Mak’e dan yang sudah bangun menuju Pasar Batu. Kita beli pecel buat sarapan.
Pecel bagi kami seperti menu harian sarapan. Sejak SD makanan ini sudah familiar di mulut. Nasi panas dengan aneka rebusan sayur, tempe goreng disiram dengan bumbu kacang manis, asam, pedas, dan gurih. Ini versi paling sederhananya
Nah bedanya di Malang ada perpaduan nasi jagung, pakai pecel, lengkap dengan urap-urap, ikan asin, sayur pedes (sayur santan, tahu, tempe, pake PETE), bakwan jagung, dan MENDOL!
Kami menyebutnya sego empog pecel. Nasi jagung pake pecel.
Gurihnya nasi jagung berpadu dengan bumbu pecel yang gurih, lalu berpesta pora dengan mendol, sayur pedes dengan pete ijo, renyahnya ikan asin, dan segarnya urap. Inilah orkestrasi pecel yang selalu dirindukan.
Pertemuan saya dengan pecel jelas di rumah, lewat olahan tangan Mama atau Mak’e.
Sementara pertemuan jajan pecel pertama saya jelas di Pecel Kawi, pecel legendaris di Malang yang kurang terdengar gaungnya kini.
Padahal dulu, pecel yang ada sejak tahun 1975 ini menurut saya paling joss, sebelumnya akhirnya meredup di awal 2000-an akibat munculnya banyak kantong-kantong penjual pecel baru di kota Malang.
Pecel Kawi menjadi salah satu warung pecel yang menyajikan lusinan jenis lauk pelengkap, mulai yang rumit seperti otak goreng, sate usus sapi, empal, bali telor, mendol dll, sampai lauk pelengkap sederhana tempe goreng, telor ceplok dll.
Pecel sendiri tercantum pada Babad Tanah Jawi yang mengisahkan pertemuan Sunan Kalijaga dengan Ki Gede Pamanahan di pinggir sungai.
Ki Gede Pamanahan menghidangkan sepiring sayuran sambel pecel dan nasi serta lauk pauk yg lain. Sunan Kalijaga kemudian bertanya "Hidangan apa ini?" Ki Gede Pamanahan menjawab "Puniko ron ingkang dipun pecel," yang berarti "Ini adalah dedaunan yang direbus dan diperas airnya".
Zaman berganti, sambel pecel kini berkembang di berbagai daerah dengan aneka cita rasa, ada yang kental dengan nuansa daun jeruk purut, adapa pula yang dominan rasa kencur.
Setiap daerah juga memiliki ciri khas pecel tersendiri. Misalnya di Yogyakarta dan sekitar, pecel disajikan dengan tempe dan tahu bacem.
Di Solo dan Madiun, pecel disajikan dengan kerupuk karak.
Di Malang pecel bisa disajikan dengan aneka rupa lauk mulai dare empal, sate usus, sampai telur ceplok.
Itu belum termasuk jenis pecel lain seperti Pecel Tumpang, Pecel Blitar, Pecel Ngawi, Pecel Kertosono, Pecel Ponorogo, Pical di Sumatera Barat dll.
Hari kedua lebaran tahun ini tiba-tiba saya ingin makan pecel.
Tapi setelah dipikir ulang...
Ternyata saya bukan kangen pecelnya.
saya rindu orang-orang yang menemani saya hunting pecel,
membungkusnya, lalu membawanya pulang ke rumah.
Sambil ngobrol ngalor ngidul, kami melahap pecel.
Kadang kepedesan, kadang nasinya kurang, kadang rebutan lauk yang tinggal satu.
Pecel bukan sekadar pecel.
Pecel jadi pencair suasana kala kami, anak-anak rantau ini kembali duduk bersama.
Pecel dan makanan apapun yang berasal dari rumah adalah sumber memori.
Saat rasa menjadi nostalgia akan babak-babak masa silam yang sulit ditinggalkan.
Comments
Post a Comment