Kami sedang berada di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Saya dan Mas Yud, produser tersomplak kami berada di dalam pos kecil berukuran 2 x 1,5 meter. Atapnya begitu rendah hingga kami harus jongkok dan tak bisa berdiri di dalam. Tanpa suara, mata kami mengintip jeli dari celah yang disediakan untuk mengamati dari kejauhan. Kami tengah "berburu" burung endemik maleo yang sangat sensitif dengan kehadiran manusia.
Burung yang kami incar kali ini, Maleo, memang dikenal unik. Ukuran badan burung maleo sama dengan ukuran badan ayam.
Akan tetapi
ukuran telur burung maleo besarnya kurang lebih enam kali lipat dari
telur ayam. Sang betina biasanya akan pingsan setelah bertelur.
Beberapa penelitian menyebutkan burung maleo dewasa akan berpasangan sampai mati. Ketika burung betina sudah siap untuk bertelur, maka pasangan dari burung maleo itu akan berjalan kaki hingga berkilo-kilometer menuju tempat bertelur komunal. Tempat ini pada umumnya terletak di pesisir pantai, atau yang ada di dekat mata air panas yang terdapat di dalam hutan.Jadi betina tak akan mengerami telurnya sendiri.
Telinga kami pertajam, hanya terdengar suara pagi burung dari kejauhan. handphone sengaja kami tinggal di pos Taman Nasional. Lagipula tak ada sinyal. Keheningan itu berakhir saat Mas Yudhi kebelet sipip hahaha.
"Duh Mbon, gw kebelet kencing nih, gimana ini?" sambil berbisik-bisik.
"Lah gimana mas, masa' lu mau kencing di dalem sini, ber*k lu ah"
"Aduh ga tahan gw" Mas Yud merogoh isi tas
"Mas jangan berisik, itu malei dah mulai keluar sarang"
"Aaaaaah...lega". Sesosok pria tambun nampak di pojokan, kencing di botol air mineral.
Saya cuma bisa pasrah saat melihat sepasang maleo akhirnya melarikan diri karena kami yang tak kuat menahan tawa.
Sejam berlalu, tak ada tanda-tanda maleo menunjukkan diri. Hingga ada bunyi daun kering yang terinjak. Disaat yang bersamaan saya menahan perut mules akibat overdosis sambal dabu-dabu semalam. Bangun terlalu pagi dan belum sempat buang air besar adalah faktor-faktor sempurna untuk BAB pagi hari.
"Mbon nape lu?" Mas Yudhi bertanya karena keringat sebiji-biji jagung mulai keluar di muka saya.
"kebelet boker mas" sambil meringis.
"Ah lu mah"
"Udah santai, jangan berisik. tuh ada maleo sebelah kiri"
Sebelah pondok pengamatan kami, ada sepasang maleo. Mas Yudhi langsung menyiapkan kamera, mengganti lensa dan siap membidik.
Kamera mulai merekam dan..
Preet. tak terlalu kencang tapi cukup menggetarkan.
Beberapa penelitian menyebutkan burung maleo dewasa akan berpasangan sampai mati. Ketika burung betina sudah siap untuk bertelur, maka pasangan dari burung maleo itu akan berjalan kaki hingga berkilo-kilometer menuju tempat bertelur komunal. Tempat ini pada umumnya terletak di pesisir pantai, atau yang ada di dekat mata air panas yang terdapat di dalam hutan.Jadi betina tak akan mengerami telurnya sendiri.
Telinga kami pertajam, hanya terdengar suara pagi burung dari kejauhan. handphone sengaja kami tinggal di pos Taman Nasional. Lagipula tak ada sinyal. Keheningan itu berakhir saat Mas Yudhi kebelet sipip hahaha.
"Duh Mbon, gw kebelet kencing nih, gimana ini?" sambil berbisik-bisik.
"Lah gimana mas, masa' lu mau kencing di dalem sini, ber*k lu ah"
"Aduh ga tahan gw" Mas Yud merogoh isi tas
"Mas jangan berisik, itu malei dah mulai keluar sarang"
"Aaaaaah...lega". Sesosok pria tambun nampak di pojokan, kencing di botol air mineral.
Saya cuma bisa pasrah saat melihat sepasang maleo akhirnya melarikan diri karena kami yang tak kuat menahan tawa.
Sejam berlalu, tak ada tanda-tanda maleo menunjukkan diri. Hingga ada bunyi daun kering yang terinjak. Disaat yang bersamaan saya menahan perut mules akibat overdosis sambal dabu-dabu semalam. Bangun terlalu pagi dan belum sempat buang air besar adalah faktor-faktor sempurna untuk BAB pagi hari.
"Mbon nape lu?" Mas Yudhi bertanya karena keringat sebiji-biji jagung mulai keluar di muka saya.
"kebelet boker mas" sambil meringis.
"Ah lu mah"
"Udah santai, jangan berisik. tuh ada maleo sebelah kiri"
Sebelah pondok pengamatan kami, ada sepasang maleo. Mas Yudhi langsung menyiapkan kamera, mengganti lensa dan siap membidik.
Kamera mulai merekam dan..
Preet. tak terlalu kencang tapi cukup menggetarkan.
Saya gagal menahan kentut. Mas Yudhi seketika menoleh, mengendus-endus dan...
"Babii bau kentut lo" Mas Yudhi berdiri lupa kalau pos ini tak terlalu tinggi.
BRAK. Kepalanya terantuk atap rumbia. Kami lagi-lagi tak bisa menahan tawa. Kali ini lebih kencang.
Tentu saja katakan selamat tinggal pada maleo hari itu. Hingga pukul dua belas siang tak nampak lagi satu maleo. Mungkin mereka trauma oleh bau kentut kami. Ya kami karena saat tertawa terbahak-bahak Mas Yudhi juga ikutan kentut.
Tiga hari berikutnya kami tak berjumpa dengan satupun maleo. Kemunculan julang Sulawesi alias rangkong di hari terakhir sebelum kami bertolak ke Bitung jadi sedikit penghiburan.
"Babii bau kentut lo" Mas Yudhi berdiri lupa kalau pos ini tak terlalu tinggi.
BRAK. Kepalanya terantuk atap rumbia. Kami lagi-lagi tak bisa menahan tawa. Kali ini lebih kencang.
Tentu saja katakan selamat tinggal pada maleo hari itu. Hingga pukul dua belas siang tak nampak lagi satu maleo. Mungkin mereka trauma oleh bau kentut kami. Ya kami karena saat tertawa terbahak-bahak Mas Yudhi juga ikutan kentut.
Tiga hari berikutnya kami tak berjumpa dengan satupun maleo. Kemunculan julang Sulawesi alias rangkong di hari terakhir sebelum kami bertolak ke Bitung jadi sedikit penghiburan.
Comments
Post a Comment