Skip to main content

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

 

"Maaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ujar Prof Salim setengah emosi.



Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari. 😁



 

Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.

 


Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. Pandangan akan sosok Pak Har bias. Tafsiran saya tentang Pak Har jadi bercabang. Antara cerdas atau culas, ahli siasat atau licik, hingga antara logis atau pecandu klenik mistis.



Dan pada akhirnya produksi program sejarah tahun 2018 di Kebon Sirih membawa pada sebuah pertemuan dengan beberapa orang yang bersinggungan, baik secara langsung, maupun tak langsung dengan Pak Har.

 

Mereka adalah Prof Salim Said, Yanti Nasution, Prof Emil Salim, Prof Asvi Warman Adam, serta beberapa pelaku sejarah dan sejarawan lainnya. 


Masa-masa dimana berjam-jam kami duduk dan ambil berkas sana sini di ANRI,salah satu tempat keren di Jakarta, tempat berburu arsip yang bisa bikin bosan dan nagih bersamaan.

 

Dari hasil riset, wawancara dan berbagai arisp ANRI, bisa disimpulkan kondisi ekonomi Indonesia pertengahan 1960-an begitu terpuruk.


Indonesia mengalami hiperinflasi 600 %. Harga BBM naik 400%. Pemerintah melakukan pemotongan nilai rupiah Rp 1000 menjadi Rp 1.



Kondisi ekonomi yang karut marut diperparah dengan kondisi politik yang kian hari tak kalah semerawut. 

Semuanya bermuara pada satu peristiwa Gerakan 30 September 1965. Riak kecil yang seketika berubah menjadi tsunami hebat, sebuah pergolakan yang akhirya mengubah  tampuk kepemimpinan republik ini.




Prof Salim Said, 14 November 2018, Akadami Kebangsaan - Jakarta

TC 00 : 23 :42 : 31


“Di tahun 65 ketika pagi hari saya dengar cerita jendral diculik, belum dibunuh, saya sudah mengetahui ini PKI, kenapa? Karena konflik antara Angkatan Darat dengan PKI itu sudah berlangsung lama dan Presiden Soekarno jelas-jelas memihak kepada PKI”

 

"Soekarno bersimpati kepada PKI, bukan karena dia komunis, - Nasakom itu dibikin Bung Karno kedalam negri untuk mencari dukungan PKI, keluar negri dengan ambisi, dia diterima sebagai tokoh yang mendamaikan dunia yang berkonflik,  barat dan timur” 

                                                       

Wawancara dengan Prof Salim Said jadi salah satu wawancara paling intens selama saya jadi pekerja TV waktu itu. Tak hanya menjawab pertanyaan, Prof Salim sering melontarkan pertanyaan balik yang tak kalah kritis.

 

“You sudah baca buku saya ha? Bagian mana yang you baca?” 


"You elaborate bacaan you dengan pertanyaan yang you buat kan?"

Tanya beliau tajam, dengan nada tinggi yang nyelekit.😂😄


Maaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia punya mata buat baca, buat riset” ujar Prof Salim setengah emosi.

 

“Siapa Prof? masih ingat?” berusaha mencairkan suasana, sekaligus kepo.

“Ah lupa saya, cantik kok, tapi sayang g*****”

 

Kami bertiga cuma bisa manggut-mangut. 

Salah komentar, bisa-bisa interview berhenti di tengah jalan.



Syukur partner saya setim, Aiy (baju merah) masih nyimpen foto di atas. Senyum rileks setelah sejam-an yang intens. Sambil merampungkan tulisan ini saya tanya aiy.


hahahahaha.

Baik, kita kembali ke seputar 1965. 



Dinamika politik pasca Gerakan 30 September mengalami turbulensi tinggi. 

1 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima angkatan untuk mengetahui kondisi terkini, semua panglima hadir kecuali Pangdam V/Jaya, Umar Wirahadikusuma. Kala itu Soeharto melarang Umar Wirahadikusuma untuk menemui Presiden Soekarno.

 

“Sampaikan kepada Bapak Presiden, mohon maaf Pangdam V Jaya tidak dapat menghadap dan karena saat ini Panglima AD (Achmad Yani) tidak ada di tempat, harap semua instruksi untuk AD disampaikan melalui saya, Panglima Kostrad.” – Soeharto dikutip dari Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang Widjanarko, PT Gramedia, 1988.

 


Prof Salim Said, 14 November 2018, Akadami Kebangsaan - Jakarta

TC 00 : 14 : 32 : 11 – 00 : 15 : 22 : 35

“Ketika Soeharto menolak ketika dipanggil Soekarno, pertama dia tau soal persoalannya bahwa Soekarno mendukung Nasakom, pecetus Nasakom dan mendukung PKI



Kedua Soeharto adalah orang yang berkuasa setelah Yani, jadi kekuasaan itu ia pakai untuk tidak tunduk kepada Soekarno, jadi dia tidak mau ketemu dengan Soekarno apalagi saat itu Soekarno berada apa yang di sebut oleh Nasution sarangnya Gestapu. Alasan lain Soeharto kan tidak ingin kehilangan jendral lagi kan. Kenapa? Karena para jendral dibunuhin begitulah. Kita harus mengerti sikap Soeharto yang makin lama makin mengeras menghadapi Soekarno”




Wawancara di bulan November itu akhirnya berlanjut dengan beberapa Narasumber. 

Mulai bersama Pemred Historia.id yang asik abis Mas Bonnie Triyana, Prof Asvi Warman Peneliti Politik Senior LIPI dan kesaksian Yanti Nasution yang bikin hati teriris-iris.


bersambung.

klik link berikut :

The Rise of Soeharto dan Persekusi Massal 1965

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...