“Rendang itu mengalahkan sushi dari Jepang yang sudah lebih dulu internasional, kari dari India, spaghetti dari Italia, awet tanpa pengawet. Dan rendang terbaik adalah rendang bikinan ibu” kalimat penutup Uni Reno yang bikin saya dan tim manggut-manggut.
Lepas dari Bukit Tinggi saya dan tim menuju Payakumbuh. Kota kecil yang berbatasan dengan Kabupaten Limapuluh Kota dan Agam ini kami kunjungi setelah sebelumnya kami mencari jejak Tan Malaka di Suliki.
Di Payakumbuh saya bertemu dengan Uni Reno Andam Suri sekitar Januari 2013. Berkeliling Pasar Ibuh Payakumbuh jelas ada perbedaan yang mencolok yang belum saya lihat sebelumnya.
Lusinan ibu-ibu berjejer, bersama-sama menggiling cabai merah dan hijau. aromanya langsung menusuk.
Hebatnya gilingan cabe masih tradisional menggunakan ‘batu lado’ atau cobek besar dengan ulekan lonjong. Tak terbayangkan bagaimana panasnya tangan dan perihnya mata mereka melakukan pekerjaan ini sepanjang hari, rutin dari hari ke hari.
Saya sempat tanya ke seorang Ibu.
"Berapa banyak Bu sekali ngalusin cabe?"
"Hari ini lima ember"
Saya lirik embernya, wew bukan ember ukuran normal. Ember besar kapasitas 80 liter air.
"Ini adalah profesi yang terhormat, ingat digiling bukan diblender, rasanya beda" kata Uni Reno waktu itu.
Cabai merah sepertinya jadi ‘soul’ kuliner Minang. Cabai membuat hidangan cantik merona menggugah selera.
Saya ingat, waktu sebelum mendaki Kerinci, pesan mie instan kuah. Pagi-pagi pasti nikmat gurih dan hangatnya kuah di tengah udara dingin. Saya sudah pesan ke abangnya "Bang gak pakai cabe ya". Sesaat kemudian yang hadir mi kuah merah-semerahnya. ekstra cabai merah giling.
Kembali ke Payakumbuh, semua bahan mulai daging, rempah, santan dan pernak-pernih bumbu lainnya sudah di tangan. Tak ada yang instan dari bahan-bahan yang disiapkan.
Santan diperas dari parutan kelapa segar. Daging tidak sampai masuk freezer. Bumbu-bumbunyapun baru didapat, digiling dan dimasak hari yang sama.
Menu pertama yang akan kami masak adalah rendang tumbuk. sesuai dengan namanya kita harus menumbuk daging yang telah dicampur bumbu-bumbu rahasia Uni Emi. Seperti membuat bakso, daging tumbuk yang telah bercampur bersama bumbu ini dibentuk. Setelah bulat sempurna bola-bola daging tumbuk ini dimasukkan kedalam santan yang sedang dimasak, terus diaduk hingga matang sempurna.
Baunya? Aduhaaaaai harumnya.
Tapi harus sabar karena masaknya memakan waktu berjam-jam.
"rendang itu dari kata marandang yaitu proses memasak. Jadi marandang itu proses mengolah bahan bisa daging , bisa macam-macam dengan campuran santan dan bumbu sesuai takarannya selama berjam-jam hingga mencapai randang" Uni Reno menjelaskan.
Di sela-sela memasak tiba-tiba Uni Emi datang membawa tumpukan dedaunan.
"Nah ini daun surian, daun surian itu adalah dari pohon surian yang kayunya bisa dibuat kayu rumah..artinya semua yang ada dihalaman rumah itu bisa direndang”
Untungnya Uni Emi sudah memasak berbagai jenis rendang semalam, sebelum kami datang. Jadi tak usah menunggu berlama-lama sampai masakan kami matang. hehehe
Ini pengalaman pertama saya makan bajamba atau makan bersama-sama di rumah gadang. Nasi hangat tersaji dengan aneka rendang. Rendang daging tumbuk, rendang daun kayu, rendang telur, rendang belut dan rendang pakis. Alamak rancak banaa.
“rendang itu mengalahkan sushi dari Jepang yang sudah lebih dulu internasional, kari dari India, spaghetti dari Italia………awet tanpa pengawet.dan rendang terbaik adalah rendang bikinan ibu” kalimat penutup Uni Reno yang bikin saya dan tim manggut-manggut.
Tim bersama Uni Reno (memakai kaus randang) dan Uni Emi (memakai kaos merah) |
7 tahun kemudian, Mei 2020 saya sahur dengan rendang daun kayu yang dikirim langsung dari Payakumbuh, tentu saja lewat perantara Uni Reno yang ternyata rumahnya hanya beberapa kilometer dari rumah saya. Hahaha.
Rasanya tetap sama. Gurih tak ada tandingan. Ingatan saya terbawa ke dapur Uni Emi dan momen dimana kami makan bersama. Jadi, Bilo Baliak Marandang di Payakumbuh?
Comments
Post a Comment