Bang Rudy tak bisa menahan air matanya jatuh saat mengenang sosok sang ayah.
Malam itu jenazah ayahnya sudah berada bersama dengan keluaraga di rumah selama lima bulan.
Ibu bang Rudy juga memberi nasi ikan dan kopi hitam favorit mendiang suaminya setiap hari.
Segala sesuatunya terasa magis di Toraja.
Lanskap alam, budaya, wajah kota, hingga masyarakatnya membuat daya magis Toraja terasa kuat.
Setelah siang kami berkunjung ke Londa, salah satu kubur batu paling popular di Toraja, malam harinya kami mengunjungi sebuah rumah di pinggiran Rantepao, Ibu Kota Kabupaten Toraja Utara.
Pukul delapan malam, jalanan sudah sepi.
Meninggalkan jalan besar kami masuk ke jalan-jalan yang tak terlalu lebar.
Hingga masuk ke dalam pekarangan rumah yang luas.
Ada tiga rumah berjejer yang terlihat, dua rumah modern, satu rumah merupakan tongkonan, rumah khas Toraja. Tuan rumah menyambut kami dengan hangat .
“Ayo kita masuk, mau ketemu ayah kan?” Bang Rudy mengajak kamai masuk Tongkonan.
Kami menaiki lusinan anak tangga yang berdiri curam sebelum akhirnya tiba di ruangan utama dengan sebuah peti ukiran emas dan cokelat berada di tengahnya. Bang Rudy menyapa sang ayah dalam bahasa Toraja.
Dalam peti itulah bersemayam jasad ayah Bang Rudy.
“Sakit dia, sakit ginjal. Dia mau dicuci darah tapi sudah, fisiknya sudah tidak kuat.Jadi sudah tidak bisa dicuci darah lagi. Sudah hampir 5 bulan di peti ini, nanti tanggal 5 bulan depan sudah lima bulan” terang Bang Rudy"
“kami di sini sama keluarga, sama sepupu-sepupu kadang-kadang biasa kami malem-malem disini, cerita-cerita disini sampai ketiduran juga disini”
Tak ada bau "aneh-aneh" yang tercium. Meski jenazah sudah berada di Tongkonan hampir lima bulan.
Ternyata agar mayat tidak berbau dan membusuk, keluarga membalsem jenazah dengan ramuan tradisional yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang.
Awalnya saya dan tim berasa canggung, namun semua mendadak lebih rileks saat ibu masuk dan mengantarkan makanan.
Setiap harinya keluarga menyediakan makanan, kopi dan hidangan favorit almarhum saat jam-jam tertentu.
“Masih ada dia, pagi saya buatkan kopi, nasi dan ikan laut kesukaan dia, nanti jam 7 malam saya antar makan malam dia. Masih ada dia disini”
Bagi masyarakat Toraja kematian bukanlah akhir dari segalanya.
Mereka yang telah tutup usia tidak benar-benar meninggalkan keluarga dan ikut menemani kehidupan sehari-hari keluarga yang ditinggalkan.
Maka tidak heran jika sebuah keluarga menyimpan jenazah selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan di rumah sendiri dan diperlakukan layaknya seseorang yang masih hidup.
Jenazah yang disemayamkan di Tongkonan disebut dengan jenazah to moluka, mereka dianggap sebagai orang yang sakit yang tinggal di dalam rumah.
Banyak alasan yang melatar belakangi mengapa jenazah harus disemayamkan dalam rumah terlebih dahulu. Salah satunya adalah menunggu kerabat yang tengah merantau datang untuk melihat jenazah.
Selain itu memberikan kesempatan kepada keluarga yang ditinggalkan untuk mendapatkan biaya serta hewan kurban yang layak untuk upacara pemakaman puncak, Rambu Solok, karena arwah yang meninggal dunia diyakini belum pergi selama upacara pemakaman belum dirampungkan.
Kematian selalui menemani kehidupan itulah prinsip yang dipegang masyarakat Toraja.
Mereka tidak mengusir kematian, melainkan menganggapnya bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
Potret budaya yang mengakar, sekaligus melambungkan Toraja sebagai masyarakat dengan ritual kematian terunik di dunia.
-
Ini baru bagian kecil dari semesta Toraja.
Selain budaya lanskap alamnya, batu raksasa punggung naga, limbong, belut purba, danau es Tilanga, hingga patung Yesus Memberkatinya begitu terkenang.
Jalanan di antara bukit dan kabut, serta sawah hijau dihimpit bukit kars mana bisa saya lupa.
Tapi nanti saya cerita tentang alam Toraja di bagian lain.
Satu yang pasti, saya ingat betul kunjungan pertama saya ke Toraja juga disambut "penunggu" yang tak kasat mata.
Klik di sini.
Penunggu Kamar Hotel Tua Toraja
Comments
Post a Comment