Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi.
Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat.
Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.
Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.
Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya.
Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah satu SMP di Yogyakarta. Prani merasa antreannya saat membeli kue putu Mbok Rahayu diserobot.
Prani terlibat cekcok dengan seorang pria yang menyerobot antreannya. Prani kesal, dan mengeluh “Ah Suwi” – Ah Lama. Adu mulut Prani direkam pengunjung lain, diunggah ke internet, lalu viral.
Prani jadi bahan bully di media sosial. lantaran keluhannya Ah Suwi – sekilas mirip Asui – Anjin*. Dari sinilah semuanya dimulai.
Tita anak sulung Bu Prani yang diperankan Prilly Latuconsina bikin saya geleng-geleng..in a good way. Logat Jawanya terasa tak dipaksakan, sangat natural.
Adegan saat Tita merekam video Mbok Rahayu di rumahnya, sampai celetukan-celetukan sepanjang film yang terkesan datar, kaya ekspresi dan kuat secara karakter, membuat saya lupa kalau Tita ini diperankan oleh Prily.
Prily yang dibenak saya identik dengan sinetron ata film cinta-cintaan, hilang seketika.
Muklas anak bungsu Bu Prani yang diperankan oleh Angga Yunanda membuat ia keluar dari pakem-pakem karakter di film sebelumnya. Tampil ala ‘jamet’, Angga berhasil menghidupkan karakter Muklas yang meledak-ledak dan menganggap netizen sebagai dewa.
Sementara sang kepala keluarga, Didit yang diperankan Dwi Sasono bisa ‘luwes’ menunjukkan sisi depresi dan manic dengan sangat apik.
Tapi piala emas layak diberikan kepada Bu Prani yang diperankan Sha Ine Febriyanti. Naik turun emosi. Keras lembut seorang ibu. Sedih di tengah hiruk pikuk. Berkecamuk saat sunyi dan segala kompleksitas karakter Bu Prani bikin saya merinding berulang kali, saya lupa kalau ini fiksi.
Scene Bu Prani di depan ring light begitu intim sekaligus sangat emosional. Tanpa dialog, hanya ekspresi, lampu yang berganti-ganti warna sukses bikin saya terngiang-ngiang.
Yang jelas Wregas menampilkan kompleksitas yang lebih dari film panjang pertamanya Penyalin Cahaya, tapi tetap dengan kedalaman yang sama, sedalam Lemantun dan Tak Ada yang Gila di Kota Ini. (sayang, saya belum nonton dua film Wregas yang lain Lembusuro dan Prenjak, ada yang tahu bisa nonton dimana?).
Wregas juga terlihat sangat detail baik dari segi pengambilan gambar, pemilihan warna dominan biru kuning yang hadir sepanjang film dan gambar-gambar semiotik yang rasanya akan bisa menjadi tulisan tersendiri jika didaftar satu persatu.
Cerita yang kuat, akting yang memukau dan gambar yang cantik berhasil membuat emosi penonton naik turun hingga di akhir film, penonton dibuat sesak dengan perasaan yang tak tuntas.
Bukan karena filmnya ‘kentang’, tapi justru karena film ini menyisakan refleksi dan dialog, paling tidak dengan diri sendiri.
Benarkah kebenaran yang kita yakini hari ini berseliweran di media sosial adalah sesuatu yang tunggal.
Lewat Budi Pekerti kita ditelanjangi perihal kondisi masyarakat di seluruh belahan dunia yang hidup dalam era post truth (pasca kebenaran).
Objektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak pada keyakinan meski fakta memperlihatkan hal yang berbeda.
Hari ini kita dijejali dan dikepung informasi viral, hoaks, dan merebaknya emosi sosial. Situasi ini terjadi ketika semua orang begitu mudah menjadi pencipta maupun penyebar informasi ke jagat media sosial tanpa kewarasan memverifikasi dan mempertanyakan kredibilitas konten.
Hidup di ruang redaksi selama kurang lebih 13 tahun membuat saya sadar, saya juga pernah menjadi seseorang yang menggaungkan jurnalisme trending.
Saat newsroom disetir oleh algoritma media sosial, menampilkan sesuatu yang trending tanpa menghadirkan konteks kegunaannya bagi publik.
Trending tak selamanya mengenai sesuatu yang penting dan yang penting tak melulu sesuatu yang harus trending.
Kehadiran Gaung Tinta dalam Budi pekerti sedikit banyak merefleksikan jurnalisme hari ini, meski ada (masiih banyak) media yang memiliki agenda setting dan berjuang untuk menghadirkan berita informasi yang berpihak bagi kepentingan publik.
Menutup tulisan ini saya ingin memberi rasa hormat yang sangat tinggi pada Wregas Bhanuteja yang telah menghadirkan Budi Pekerti.
Bagi saya ini bukan hanya sebuah film, tapi juga pesan yang kuat, sebuah refleksi untuk semua manusia yang punya nurani dan akal sehat untuk tak menghakimi, berwelas asih dan melihat kebenaran tak hanya satu pintu.
Comments
Post a Comment