Skip to main content

OSPEK "Mistis" PIS UB 2006

 

Sambil memegang tangannya, saya melantunkan ayat kursi di telinga mahasiswa baru itu.

Berulang-ulang. 

Semakin kencang saya baca ayat kursi dan ayat-ayat pendek yang lain, makin kencang pula ia menarik tangannya. 

Apakah “sesuatu” yang di dalam dirinya tersiksa?






 

Sekitar pertengahan 2006, hawa dingin di Malang, Jawa Timur menandakan masa mahasiswa baru tiba.

 

Pukul tiga pagi beberapa panitia sudah terlihat di depan sekretariat Himanika (Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi) dan Himasigi (Himpunan Ilmu Sosiologi). 


Dingin? Sudah Pasti. Suhu bisa sampai belasan derajat celcius waktu itu.




Waktu itu FISIP Brawijaya masih bernama PIS (Program Ilmu Sosial). 


Hanya ada dua program studi, komunikasi dan sosiologi. 


Gedungnya masih numpang di Ruang Kuliah Bersama. 


Beberapa ruang bangkunya masih kayu lengkap dengan OHP.  


Kondisinya 180 derajat dengan FISIP saat ini.

 

 
Maket Gedung FISIP UB 2006


Gedung FISIP UB 2016


PKK Maba PIS UB 2007


PKK Maba FISIP 2016


PKK Maba FISIP 2019

2017

2007

Peserta PKK Maba (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru) – semacam ospek, berdatangan sekitar pukul empat pagi dengan bawaan rupa-rupa.

 

Tidak ada  data yang benar-benar valid, namun tradisi  penerimaan mahasiswa semacam ini berkembang di kampus-kampus di Indonesia pada tahun 1950-an yang pada saat itu juga dikenal dengan istilah Mapram. Masa prabakti mahasiswa.


 

Melalui SK Mentri P&K No. 043/1971 istilah Mapram  diganti menjadi  Pekan  Orientasi  Studi  (POS) kemudian berganti menjadi OS(Orientasi Studi) hingga dikenal dengan sebutan OSPEK (Orientasi Studi  dan  Pengenalan  Lingkungan  Kampus).


 



Kembali ke PIS UB 2006.

Hari pertama PKK Maba dilalui dengan mulus.

Yel-yel pagi lumayan jadi highlight hari itu. 
















Masing-masing fakultas berkeliling kampus dan meneriakkan yel-yelnya masing-masing. 

kami lantang berteriak PIS TANGGUH SATU PERJUANGAN.

 

Yel-yel yang kemudian beradu kencang dengan 1,2,3 TEKNIK atau HUKUM BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN, dua yel fakultas lain yang masih saya ingat.




 










Itu yang di seberang kaos biru sepertinya anak Teknik. 

Bahkan ketika ada rombongan fakultas lain lewat sekitaran, kita harus teriak lantang. 

Mereka yang lewat juga tak kalah berteriak lantang. 

Begitu seterusnya sampai suara habis.





Pukul lima sore, lapangan RKB sudah bersih dari mahasiswa baru. 


Panitia berkumpul untuk evaluasi.

 

“Mbak Beng wes mbak, Maba-ne we mulih mbak, nggak usah kereng-kereng”

Mbak Beng sudah mbak, maba-nya sudah pulang, tidak usah galak-galak.


Saya mengomentari wajah mbak Beng yang kenceng. 

 

Mbak Beng aka Ibu Isma yang kini sudah jadi dosen di FISIP UB, adalah satu Disma (Disiplin Mahasiswa) paling galak saat itu.

 

Kesel aku Mbon, ya ngene iki raiku..hehehe”

Capek aku mbon, ya gini ini mukaku.

 

“Cok kesel aku mbengak mbengok, ngelak-an aku iki”

Capek aku teriak-teriak, aku gampang haus. 


Curhat Revo, Disma lain yang tak kalah kereng (galak).


Evaluasi hari pertama terpaksa kami lakukan di luar, karena kondisi listrik mati. 

Jelang magrib, langit mulai gelap. 

 

“Kok akeh manuk ya?”

Kok banyak burung ya?. 

Tanya saya ke kawan di sebelah.

 

Segerembolan burung terbang melingkar, 

berputar rendah lumayan banyak di atas kami. 

Hmm mungkin mau kembali ke sarang.


Pikiran tentang burung ini buyar, 

setelah Galuh Ayu aka Mami Gal, salah satu panitia teriak-teriak.


Saya nggak sadar apa yang terjadi sampai seorang kawan berujar.

 

“Heh lebokno nang sekret disek, kesurupan iku ketoke”

Masukkan ke sekretarian dulu, sepertinya kesurupan.

 

Evaluasi bubar. Teriakan Mami Gal makin menjadi.

 

“Awakku iku rasane bergetar Mbon, aku merem, pas melek, wes ketok kabeh sing aneh-aneh”


Badanku rasanya bergetar Mbon, aku nutup mata, waktu buka mata, sudah keliatan semua yang aneh-aneh.  


cerita Galuh via telepon.


Iya saya sampai telepon untuk mengingatkan apa yang terjadi 14 tahun lalu itu.😀

 

“Kon ndelok opo ae Mi?”

Kamu lihat apa saja Mi?

 

“Wuakeeeh Cak, ono wong gedeee dukuur banget, weteng nang ngisor ketok, ndukure gak ketok, wernone ijo keireng2an”

 

Banyaak. Ada orang tinggi besaaar, perut sampai kaki kelihatan, atasnya nggak terlihat, warnanya hijau kehitaman.

 

“Ono arek cilik-cilik gak gawe klambi mlayu karo ngguyu-ngguyu, nenek-nenek, ono wedok raine rusak, motone coplok kare separoh. Iku kabeh koyo marani aku”


Ada anak kecil-kecil tidak pakai baju lari-lari, nenek-nenk, ada perempuan mukanya rusak, matanya copot satu. Itu semua datengin aku.


 

Mami Gal ke-4 dari kiri. duh pas noleh.


“Akhire mari magrib baru sadar, terus aku diterno Pak Wayan”

Sadarnya setelah magrib, lalu diantarakan Pak Wayan (salah satu dosen kami).

 

Malam itu tak ada satupun panitia yang tidur di kampus.


Peristiwa sore yang menjadi 'pembuka' kejadian besar esok harinya.

 


 

Hari ke-2 PKK Maba PIS  2006.

Pukul 10:15

 

“Mbon maringene lapo”

Mbon habis ini ngapain?.

 

“Habis ini masih pembekalan sampai jam 12, ishoma sampai jam 1 lanjut games”  






















Waktu pembekalan alias pemberian materi jadi waktu panitia untuk istirahat.


Ada yang makan, selonjoran, tidur, sampai ngasap di Dahlia, tempat foto copy tersohor se-antero PIS UB waktu itu. 


Mlipir ke lalapan hutan MIPA, lalu minum es dawet jempol. Nikmatnya.




Saya waktu itu santai di depan ruang aula pembekalan beberpa panitia yang lain , sampai suara teriakan seorang mahasiswi terdengar dalam ruangan.

 

Satu teriakan yang disusul tumbangnya satu-satu mahasiswi baru di Aula RKB.


Kesimpulan sementara: kesurupan.

 

Sebagian dari yang "pingsan" ada di sini


Panitia tergopoh-gopoh menuju aula.

Satu persatu mahasiswi yang “pingsan” dilarikan ke ruang kesehatan.


Dari lusinan jadi puluhan.

Beberapa teriak-teriak.

Ada yang hanya pingsan.


Yang lain menunjukkan beragam ekspresi.

mimik orang kesakitan, cekikan,

ada pula yang melihat sekitar sambil ketakutan.

 

Suasana makin “semarak” saat ruangan kesehatan penuh.

Disaat itulah sebuah cerita muncul.


Cerita yang sudah bertahan selama 14 tahun itu selalu jadi bahasan saat beberapa kami, panita, bersua kembali.

 

“Mbon iki tulungono arek iki”

Mbon tolongin anak ini.

 

Mahasiswi tersebut saya baringkan di lantai.

Wajahnya berkeringat. Pucat.

 

Memberanikan diri saya pegang tanggannya tangannya.


Saya melantunkan ayat kursi di telinga mahasiswa baru itu. 


Berulang-ulang. 

Semakin kencang saya baca ayat kursi dan ayat-ayat pendek yang lain, makin kencang pula ia menarik tangannya. 


Apakah “sesuatu” yang di dalam dirinya tersiksa?

 

Wah berhasil rupanya pikir saya.

Jin-nya mungkin kepanasan.

 

Tarikan tangannya makin kuat ingin melepas genggaman.


Wah ini harus lebih kencang baca ayatnya kursinya, biar si Jin minggat.


Tangannya kuat meronta, hingga terlepas.

Dia mengepalkan kedua tanggannya.

 

“Bapa Surgawi, dalam Nama Yesus Kristus, Tuhan dan Penyelamat kami, karena kuasa Roh Kudus, kami berdoa”

 

Koplak. Salah doa bos.

 

Seorang kawan lain juga punya cerita.

Entah darimana datang teorinya, 

semua panitia berusaha saling mengoper minyak kayu putih untuk dioles di hidung. 

Mungkin tujuannya agar yang “pingsan” segera sadar.

 

Saya lupa siapa, tapi yang jelas ini panitia dari seksi kesehatan.


Saat itu ia berusaha membangunkan seorang Maba,

Ia mengoleskan minyak di sekitar hidung, leher, dan kening.

Tak sampai semenit, Si Maba terbangun.


“Kak panas kak” keluh si Maba.

“Kamu kepanasan? Kamu nggak apa-apa?” si panitia bertanya

“Kak ini kayaknya kakak ngoles balsem”

“Ah nggak kok, aku ngoles ini,,,,”


Si Panitia kaget ternyata dia bukan ngoles minyak kayu putih tapi memang balsem saudara-sauidara.

 

Jam 12 siang, puluhan mahasiswi mulai siuman satu persatu.

Banyak yang mengeluh pusing dan mual.


Semua peserta dipulangkan jam 1 siang.

Jadwal untuk esok harinya dimundurkan empat jam, hingga jam 9 pagi.

 

Lalu berbagai cerita muncul.

Penghuni gedung yang ngamuk.

Ada Maba yang bawa jimat.

Ada panitia yang mendadak jadi paranormal.

Ada pula yang sekelompok pria berjubah yang tiba-tiba datang atas panggilan seorang dosen.

 

Yang pasti kejadian ini muncul ini di Radar Malang halaman pertama.


Puluhan Mahasiswa Baru PIS UB Kesurupan.

Sayang, saya nggak sempet kliping beritanya.


Siswanto, peraih gelar doktor UGM yang disertasinya viral karena ngebahas fenomena kesurupan berendapat penyebab utama kesurupan adalah stres sosial dan mental yang ditekan ke alam bawah sadar. 

Hal ini akan memengaruhi kondisi emosional seseorang.

 

Sementara dr. Silas Henry Ismanto seorang Spesialis Kejiwaan mengatakan kesurupan termasuk gangguan jiwa dengan sebutan medis dissociative trance disorder (DTD).

 

Menurut dr Silas kesurupan merupakan mekanisme bertahan seseorang untuk lari dari masalah demi mengurangi stres sementara waktu. 

Kesurupan bisa disembuhkan dengan memberikan ketenangan pada pasien.

 

Hmm masuk akal. 

Mungkin pemicu histeria massal siang itu adalah kelelahan, tekanan Disma, energi terkuras saat yel-yel keliling kampus yang berujung pada stress dan histeria massal.



 

Hari terakhir PKK Maba PIS UB 2006 akhir diadakan full di Widyaloka Brawijaya, full AC, dengan kursi seempuk sofa.














Jelas, angkatan 2006 menang banyak. hahaha




Penutupan PKK MABA PIS UB 2006

 

Kami berpikir, surup –menyurup ini berlalu.

Nyatanya tidak.

 

Kali ini ada yang tak bisa dijelaskan secara ilmiah.

Saat Ospek Jurusan Komunikasi UB pertama dan terkahir digelar di Coban Rais, Batu.


Halusinasi massal terjadi,

Gending Jawa dan lagu Belanda yang muncul di HT seluruh panitia.

Ngeri



Bersambung.







Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...