Skip to main content

Kita Semua (Pernah) Rasis

“Ah lu jawir, kampring”

“Woi sipit, melek dikit napa?”

“Gaya lu, sarapan roti kaya bule aja”


Tanpa sadar kita semua rasis dengan takarannya masing-masing. 


Rasisme atau di KBBI tertulis rasialisme telah tertanam di alam bawah sadar kita lewat berbagai hal.


Nilai keluarga, steoreotip, industri kosmetik, iklan, fashion, media, industri hiburan, sistem politik, sejarah dan sejuta hal lainnya yang meligitimasi rasialisme.




Sebenarnya tidak ada fakta biologis tentang ras karena faktanya manusia saling berhubungan secara genetis, namun pemikiran tentang stereotip ras selalu ada dalam imaji sosial masyarakat.





Muncul di pemberitaan, namun sepertinya tak dapat cukup perhatian. 


Kematian Eden Armando Babari dan Rony Wandik saat memancing di Sungai di sekitar Mile 34, Distrik Kwamki Narama, Kabupaten Mimika, Papua seperti menguap begitu saja.




Dua pemuda berusia 19 tahun ditembak aparat karena diduga sebagai bagian dari gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang menuntut kemerdekaan Papua sejak 1965. 


Padahal mereka sedang memancing di kawasan yang kebetulan masuk dalam area tambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia, yang beroperasi sejak 1967 di Mimika, Papua.



Ini bukan pertama kali sikap rasis aparat negara ke warga Papua tertangkap kamera.

 

Obby Kagoya mahasiswa asal Papua di Yogyakarta pada Juli 2016 diperlakukan tak manusiawi di depan asrama Kamasan.


Obby dipukul, ditendang dan ditangkap terkait rencana aksi damai di Yogyakarta memperingati 47 tahun Pepera yang dinilai tak demokratis.





Tiga tahun kemudian, Agustus 2019, asrama mahasiswa Papua di Surabaya digeruduk aparat TNI. 


Alasannya, mereka melihat ada bendera Merah Putih yang dipasang pemerintah Kota Surabaya jatuh ke selokan. Perkataan kasar dan aksi brutal aparat di Surabaya berujung pada kerusuhan besar di Papua.



Tak hanya kawan Papua, kawan Tionghoa di Indonesia telah mengalami diskriminasi lintas zaman


Sejak zaman VOC di Batavia abad ke 17, Perang Jawa berkecamuk abad 18, perpindahan rezim 1965, reformasi 1998, hinggga beragam isu rasis yang dihembuskan di era pilkada bahkan pilpres belakangan.



 

Pada satu babak Perang Jawa tercatat bahwa pasukan berkuda yang dipimpin Raden Ayu Yudakusuma, putri Sultan Hamengku Buwono I membunuh jika tak mau dikatakan membantai masyarakat Tionghoa di daerah Ngawi.


 Apa pasal?


Masyarakat Tionghoa yang kala itu oleh Belanda dijadikan Bandar pemungut pajak memunculkan sentimen negatif di masyarakat Jawa dan pecah saat  Perang Jawa berkobar.


Etnis Tionghoa dianggap sebagai pemeras dan kaki tangan penguasa yang semena-mena.



Tragedi pembantaian Perang Jawa membuat kebencian antara Etnis Jawa dan Tionghoa berkembang. 


Masyarakat Tionghoa menjadi takut terhadap Orang Jawa sementara Orang Jawa menganggap Tionghoa sebagai mata duitan dan pemeras.


Kebencian ini kemudian mendarah daging, dan menyebar luas. 


Kebencian yang kemudian turun temurun terjaga lewat tradisi lisan lintas generasi.



Pasca lengsernya Presiden Soekarno, era represif Orde Baru memaksa masyarakat Tionghoa di Indonesia meninggalkan nama Cina-nya dan menggunakan nama yang lebih “Indonesia”. 


Perayaan imlek dilarang, sekolah-sekolah Cina dibubarkan.


Belum lagi peristiwa “Mangkuk Merah” yang terjadi Kalimantan Barat pada tahun 1967, dimana ribuan etnis Tionghoa dibantai dengan motif politis yang dibumbui unsur SARA.


Bak anomali prilaku diskriminatif di awal rezim Orde Baru justru memunculkan taipan-taipan Tionghoa yang dekat dengan lingkaran penguasa. 



Kelompok pengusaha kaya raya yang dekat dengan Cendana inilah kelak dianggap sebagai cerminan seluruh etnis Tionghoa di Indonesia. 


Padahal tidak.

 

Saat Soeharto lengser ke prabon, kerusuhan yang muncul di berbagai kota di Indonesia menyasar etnis Tionghoa sebagai sasaran kebencian. 

 

Masyarkat Tionghoa menjadi korban kekerasan, penjarahan dan diskriminasi. 


Rumahnya dibakar, toko-tokonya dirusak, selebihnya anda pasti sudah tahu ceritanya.

 


Rasisme dalam hal ini hadir akibat konstruksi penguasa entah itu penjajah di zaman kolonial, hingga rezim yang berkuasa setelah merdeka.

Jika di zaman penjajahan rasisme digunakan untuk melemahkan inlander, dengan menggaungkan bahwa kulit putih lebih tinggi derajatnya dari kulit berwarna,



Maka setelah merdeka rasisme hadir lewat corong-corong penguasa yang diamini oleh sebagian besar masyarakat, baik secara sadar maupun tidak.



Nina Jablonski, seorang antropolog dan palaebiologis dari Pennsylvania State University menyatakan 


“Ras dimengerti masyarakat sebagai gabungan dari atribut fisik, perilaku, dan kultural. Sementara etnis menekankan perbedaan antar-manusia berdasarkan bahasa dan budaya,”

 



Artinya ras adalah “bawaan biologis” yang diturunkan dari orang tua ke anaknya. 

Sementara suku atau etnis adalah sesuatu yang muncul seiring perjalanan hidup, misal di mana kita tumbuh besar dan kondisi lingkungan sekitar.

 

Namun dalam perkembangannya keduanya seakan bias, bergumul tanpa sekat. 

Tak heran dari lingkungan awal keluarga potensi rasisme juga tertanam tanpa sadar, dibalik kelambu stereotip suku atau etnis.


Rasisme juga bersembunyi di balik celoteh-celoteh dengan modus bercanda yang dimaklumi begitu saja.


Ia hadir lewat steoritip ras dan etnis tertentu yang dijadikan bahan ledekan.


“Jangan nikah sama orang XX, orang XX kan terkenal XX”

“Lah dia kan orang XX makanya pelit banget”

“Dasar orang XX, kasar banget, kamu jangan suka main sama dia”

“Carilah bule, biar perbaiki keturunan”


Kini, di era serba selesai dengan satu sentuhan jari, rasisme muncul dalam bentuk baru. 


Dia bersembunyi di kolom-kolom komentar media sosial, status facebook, postingan instagram, konten di youtube dan lorong-lorong dunia maya lain.




Saya menutup lanturan ini dengan sebuah cerita  sekitar tahun 2011.

Ketika saya dan tim harus shooting di Ubud, Bali. 


Kami memasuki sebuah resto yang nampak sepi, setelah pesan makanan kami menunggu sambil ngobrol santai, menikmati udara malam Ubud yang sejuk.


Setengah jam kemudian satu keluarga turis datang, mereka juga pesan makanan. 


15 menit kemudian makanan yang mereka pesan datang. 


Sembari kami yang sudah pesan 45 menit hanya minuman yang datang.

 

“Mas kita kok belum datang makananya?”

“Oh mas tadi pesan makanan?”

“Maksudnya?”

“Sebentar….” Si Mas ambil nota pesanan. “Jadi ini totalnya 480 ribu Pak”

“Maksudnya? Bayar di depan?” saya mulai naik satu oktaf.

 

Ternyata Produser saya waktu itu naik pitam, langsung nyela.


“Gak gini ya mas caranya, kan bisa ngomong di depan, kita bisa bayar kok”

Kami pergi, membatalkan pesanan, hanya membayar minuman.

 

Nggak semua resto di Ubud kayak gini genks, yang pelayanannya mantab lebih banyak. 


Mungkin kami saja yang apes waktu itu. Atau penampakan kami terlalu gembel. bisa jadi. 




 

Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...