Skip to main content

40 Tahun Mak’e Bersama Kami

Bapak Ibu memanggilnya Nduk, 

Kami memanggilnya Mak’e, 

beberapa yang lain memanggilnya Yuk Ten, 

Generasi ketiga memanggilnya Nenek.


 

Namanya Suminten, lahir di Sumbernongko, Blitar 6 Juni 1960. 


Ia adalah pengasuh, juru masak, asisten Ibu dalam berbagai hal. 


Mulai sekadar belanja, menjahit hingga angkat lemari dari lantai 1 ke lantai 2, semua pernah dilakoni Mak’e.



 

Kembali ke bulan akhir tahun 1978.

Mak’e yang baru bercerai dengan suaminya mengadu nasib ke Malang. 

Mak’e bekerja di sebuah keluarga di Jalan Tumapel, Malang.

 

Satu setengah tahun bekerja, Mak’e pindah kerja ke seseorang yang bernama Bu Totok. 

Tapi ternyata entah bagaimana ceritanya Bu Totok sudah memiliki orang lain sebagai asisten rumah tangga.

 

“Nduk kowe ra sido nderek aku ya, ono dulurku sing butuh, ngkok kowe dijemput” 

 Kamu tidak jadi ikut saya ya, ada saudaraku yang butuh, nanti kamu dijemput.


Saudara yang dimaksud Bu Totok adalah Ibu. 


Saat itu Ibu memang butuh bantuan ekstra di rumah.

Seminggu menunggu, Mak’e tak kunjung dijemput.

 

“Bu dalem menawi mboten dipendet dinten niki, bade wangsul mawon nggeh’

Bu kalau hari ini saya tidak dijemput, saya pulang saja.

 

Semua sudah diatur, Bapak Ibu tiba-tiba menjemput Mak’e di Bu Totok hari itu selepas magrib dan langsung menuju rumah kami yang saat itu masih berada di Bantaran.



 

Mei 1980. 

Mak’e, Yuk Ten, Nenek menjadi keluarga kami hingga empat dekade berikutnya.

 

“Gaji pertama Mak’e itu Rp 6000 sebulan Le”

 Ibu mengingat perjumpaan pertamanya dengan Mak’e.

 “Yo lugu ngono Le, rambute kribo.”


Rambut kribo Mak’e ini juga jadi cerita sendiri.


Alkisah Mak’e menjadi obyek praktek keriting rambut seorang temannya di sebuah salon.

Saat pulang, Mak’e kehujanan. 

Keramaslah Mak’e.

Saat keramas ini Mak’e ingat pesat kawannya


“Ten, jok kene banyu dhisek lo ya rambutmu, ben kritinge apik”

Ten jangan kena air dulu lho ya rambutmu, biar keritingnya bagus.

 

Nasi jadi bubur. Keritingnya menggembur. 

Dadi mumbul.

Rambut Mak’e berubah menjadi kribo.

Hahahaha.



Sekitar 1988 Mak’e hampir berpisah dengan kami.


Bapak harus pindah tugas ke Bali. 

Mbah Jamal, Bapak Mak’e tidak setuju anaknya harus bekerja di pulau seberang.

 

“Nduk kowe opo ra sakne anak-anakmu? Wes lengket karo kowe” 


Nduk apa kamu tidak kasihan dengan anak-anak? sudah lengket sama kamu.

Ibu mencoba membujuk Mak’e.


Mak’e pun galau. 

Antara dilarang Mbah Jamal, 

tapi sudah terlanjur sayang dengan kami.



 

Yaweslah Le, akhire Mak’e mikir, nang Bali iki, semalem juga nyampe, akhire Mak’e ikut ke Bali”

 

Keputusan Mak’e ke Bali ini ternyata mebawa Mak’e ke kota lain yang lebih jauh lagi.

 

“Pak aku nyebrang segoro, numpak kapal ndukur, dungakno selamet, Bapak sehat-sehat karo Mak” 


Pak aku nyebrang laut, naik pesawat, doakan selamat, Bapak, ibu sehat-sehat ya.

Tulis Mak’e berpamitan lewat surat dengan Mbah Jamal.

 

Juni 1989. Setelah setahun di Bali

Kami sekeluarga pindah ke Ende, Flores.

Di Kota Ende-lah ingatan tentang sosok Mak’e teringat sampai sekarang.


Make, saya dan Mas Dian, Danau Kelimutu 1990



Mak’e adalah sosok yang memandikan, nyuapin, teman bermain, hingga bergantian dengan Ibu ngelonin kami.


Mak’e ngelonin kami siang hari, sementara Ibu di malam hari.

 

Mak’e menjadi juru masak rumah yang menjaga rasa hingga penjaga pakaian kami tetap licin dipakai setiap harinya. 


 

Mak'e, Ende 1991


Selanjutnya hingga saat ini Mak’e jadi sosok Ibu kedua, sosok yang menemani banyak fase dalam hidup kami.

 

Menemani Mbak Ike yang patah hati di awal 1990an.


Sempat mbayari tagihan kartu Halo Mas Dian di akhir 1990-an.


Donatur tetap uang jajan saya selama masa sekolah hingga kuliah.


Dan jadi teman si ragil Dek Aji sampai sekarang di Malang.

 

Mak’e kadang jadi juru selamat saat kami yang sudah tak lagi di induk semang butuh bantuan.

 

Meluncur saat banjir besar Jakarta menerjang.

Hadir di Sukabumi atau Yogyakarta sedang pindahan.

 

Mak’e setia bersama kami hingga generasi tiga.

Manis pahit keluarga kami, Mak’e jadi saksinya.






Hari ini Mak’e berulang tahun yang ke-60, 

tahun ini juga tepat 40 tahun Mak’e jadi bagian keluarga kami.


Doanya tiap tahun selalu sama 

“Semoga kalian sehat semua, sukses, Mak’e bahagia kalau kalian bahagia”. 

Doa yang tak ditujukan untuk dirinya sendiri.

 

“Kalian itu anak-anaknya Mak’e semua. Terima kasih sudah mau nerima Mak’e, dan nganggap Mak’e keluarga” 


ucapan yang selalu sama tiap tahunnya, saat saya mengucapkan selamat ulang tahunnya.

 


Selamat ulang tahun Mak.

Terlalu banyak cerita, yang tidak bisa dirangkum dalam satu cerita pendek ini.

I Love you. We love you.



Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...