Skip to main content

Beruang Sirkus di Bawah Laut Kakaban

Seekor beruang sirkus tampak mengayuh sepeda yang tak terlihat.

Perutnya yang menggelambir memperlambat kayuhnya di dalam air. 

Gelembung udara keluar dari mulutnya.

Sebuah penampakan langka di perairan Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur.

 

 

Resna. Om Popo. Ramon. GN, Mas Yud, Langga, Mas Icuk


 

Hari ketiga kami di Derawan, Kalimantan Timur.

 

Derawan meruntuhkan semua imaji saya tentang Kalimantan.

Borneo yang saya kenal waktu itu antara hutan perawan, kebun sawit yang masif, sungai cokelat lebar mengular, atau hiruk pikuk daerah perkotaanya

 

Ternyata, Borneo punya laut biru dan pasir putih, lengkap dengan angin sepoi, amboii.

 

Obat mujarab setelah hampir sebulan kami menyusuri jalan darat dari Pontianak – Palangkaraya – Banjarmasin – Balikpapan – Samarinda.

 

Penutup perjalanan yang manis setelah sebelumnya ketemu “nenek” bongkok di Betung Kerihun. 

klik disini

 


Gosong-gosong Club


Hampir setiap hari kami menyelam di Derawan.

Sayang, terumbu karang sekitar Derawan dalam kondisi kurang baik.


Beberapa kali kami menemui sampah saat menyelam. 


Kondisi pulau yang overpopulasi jadi pemicunya.


Kamipun  harus memilih spot yang lebih jauh dari Derawan untuk menyelam.

 



Spot pertama Turtle Point


"Yuk sudah siap semuanya? Kita berangkat 30 menit lagi ya” Mas Icuk, pengelola dive centre di Derawan meminta untuk kami bersiap.

 

Kami berempat, Saya, Langga, Resna dan Ramon semangat 45.


Ini jadi pengalaman pertama kalinya kami menyelam di luar Pulau Seribu yang sejengkal dari Ibu Kota.

 

Sementara bagi Mas Yud dan Om Popo ini pengalaman kesekian ribu kalinya mereka menyelam.

 

Jika dianalogikan ikan, maka Mas Yud adalah Paus, sementara Om Popo adalah lumba-lumba. Keduanya dipastikan memiliki insang karena bisa berlama-lama dalam air.

 

“Mbon makanan udah lu bawa?” Mas Yud mengingatkan.

“Aman, Beng-beng, milo, chiki-chiki, roti tawar, roti isi, nasi bungkus, semua lengkap. Aman bos”

 

Dan rombongan hore ini berangkat. 

Cuaca mendung, gelombang lumayan bergulung.

 

Kami mendekati  Pulau  Marataua, salah satu spot menyelamnya dikenal dengan nama turtlle point. Kapal yang tak terlalu besar membuat entry kami kali ini dengan teknik backroll.

 

“Udah bayangin aja ini Pulau Seribu, samalaaah laut dimana-mana”

Om Popo meyakinkan kami yang baru berlisensi open water ini.

 

BYUR…ikan paus hitam satu masuk.

 

Dan…. om Popo emang minta digaruk. Sama kayak Pulau Seribu dari Hong Kong.

 

Arus yang kencang membuat kami yang penyelam bau kencur ini terpental ke segala penjuru.

 

Belum lagi buoyancy kami yang kacau balau.


Muka saya ditampar fin Langga. 

Fin saya menampar muka Resna.

Adegan tampar menampar via fin ini berhenti beberapa menit kemudian,

saat kami masing-masing bisa mengendalikan diri.

 

Ting…ting…ting..ting.

Sebuah suara mencuri perhatian kami

Rupanya Mas Icuk, instruktur selam kami, memukul tabung dengan stick pointer, sambil menunjuk ke satu arah, berulang-ulang.

 

Sekitar dua meter jaraknya, dari pandangan mata. 

Beberapa pengarung samudra bersembunyi di antara terumbu karang.

Penyu Hijau.

 

 

foto : Yudhi Mahendra

 


Spot kedua Sangalaki Kakaban.




Kami tengah bersiap sedari pagi. Setelah sarapan nasi kuning kami menuju kapal.

 

“Hmm Halo sorry, can I go with you guys? You want to go diving right?” 

Seorang bule tiba-tiba nongol.

 

Singkat cerita kami mengiyakan bule remaja ini bergabung dalam rombongan.


Namanya Eric, 17 tahun, asli Finlandia sedang solo travelling di Asia Tenggara. 


Intinya dia ingin numpang kapal karena tidak  punya dana cukup untuk menyewa kapal sendiri.

 

17 tahun,hmm saya paling mentok naik Gunung Panderman di Batu atau Pantai Balekambang di Malang Selatan.

 

Cuaca cerah, angin sepoi membuai.

 

Spot pertama kami di sekitar Sangalaki mendapat julukan dari penyelam sebagai big fish supermarket, karena banyaknya jenis biota laut dan terumbu karang.


Disini buoyancy kami lebih terkontorol, hari masih pagi, arus masih landai.


Kami beristirahat di Danau Kakaban, danau pra sejarah yang terbentuk sekitar 21 ribu tahun lalu.




 

Danau ini merupakan kumpulan air laut yang terperangkap ribuan tahun. 


Akibat perubahan lingkungan dan evolusi yang cukup lama air danau ini kemudian menjadi tawar dibandingkan dengan air laut sekitarnya.


Sumber : IDN, baru tau bentuknya dari atas, zaman itu belum musim drone.😀

Evolusi habitat tersebut  juga berdampak pada biota air yang ada di dalam Danau Kakaban. 


Danau di tengah lautan ini didiami oleh  ikan dan jenis ubur-ubur yang tidak menyengat.


Di dunia, ekosistem seperti ini hanya bisa dijumpai di dua tempat, yang pertama ada di Palau, Kepulauan Micronesia dan yang kedua ada di Kakaban, Derawan, Kalimantan Timur.






“Jadi ini beda ya dengan spot diving sebelumnya, kalau kemarin-kemarin spotnya  landai, 

 dia berupa wall, tegak lurus, namanya spot Kakaban Wall” Mas Icuk membuka brief saat kami kembali bersiap sesi dive berikutnya.

 

“Jadi kalau bisa langsung negative entry, kick sekuat mungkin, biar bisa melawan arus di atas”

 

Saya dan Resna saling pandang.

Langga manggut-mangut nampak paham.

Ramon ngunyah beng-beng belepotan.

Mas Yudhi dan Om Popo?

Jelas nyebur duluan,

siaga nangkap gambar di bawah.

 

BYUR…

Para penyelam bau kencur meluncur.

 

Arus di permukaan ajur.

Adegan tampar menampar fin pun terulang.

 

Karena yang terngiang dikepala kick fin sekuat tenaga.


Jadilah kaki ini menggerakkan kaki fin sekencang mungkin.


Entah Langga atau Resna, yang jelas fin saya mendarat kencang di mukanya. 

 

Lepas kedalaman lima meter. Arus lebih tenang. Semua lebih terkontrol.


Kami, terutama saya menganga lebar. Takjub.

 

Sebuah dinding penuh terumbu karang berwarna-warni dalam posisi vertikal terus ke dasar laut, hingga tak terlihat ujungnya.



 


Karena pada dasarnya saya bukan penyelam, saya cuma bisa bengong liat jenis ikan bergerombol tegak lurus melewati penyelam  tanpa tahu jenis ikannya. 


Beberapa penasaran mendekati gak kenal takut. Beberapa malu-malu sembunyi dalam terumbu karang.

 

Di sini saya bergerak aktif. Kadang berputar 360 derajat berputar. 

Melihat gelembung udara membumbung ke permukaan.

 

Damai.


Saking terbiusnya, tak terasa kedalaman sudah 30 meter. 

Kondisinya makin gelap, tangki sudah di garis merah.

 

Kami kembali ke permukaan.

 

Lalu dimana penampakan beruang sirkusnya?

 

Saat kami sudah santai malam hari di penginapan Derawan.

Ritualnya adalah Om Popo dan Resna mindahin gambar.

Nah disitulah penampakan beruang sirkus tertangkap kamera.

 

Seekor beruang sirkus tampak mengayuh sepeda yang tak terlihat. Perutnya yang menggelambir memperlambat kayuhnya di dalam air. Gelembung udara keluar dari mulutnya. Sebuah penampakan langka di perairan Sangalaki, Kalimantan Timur.

 

Alih-alih menyelam dengan posisi bouyancy yang mantab, seorang penyelam terlihat berdiri tegak, dengan kaki mengayuh. Persis beruang sirkus.

 


“Lu ngapain dah mbon?” Tanya Om Popo sambil ketawa ngakak.

“Ya udah si Om, namanya juga amatiran”



Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...