“Situasi di wilayah pendudukan Palestina dan Israel telah mencapai puncaknya. Israel telah melakukan pembersihan etnis massal terhadap warga Palestina dengan dalih perang ‘membela diri’. Sekali lagi, atas nama pembelaan diri, Israel berusaha membenarkan tindakan yang dianggap sebagai pembersihan etnis." - Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Wilayah Palestina dalam press release PBB yang dikeluarkan 14 Oktober 2023 lalu.
Tak dapat dimungkiri kita terbagi dalam menyikapi serangan membabi-buta Israel di Palestina. Sebagian acuh tak acuh masa bodoh, sebagian prihatin namun bingung bersikap, sebagian yang lain aktif mengupdate setiap hari di lini masa media sosial masing-masing kondisi terkini di Gaza.
Namun ini adalah fakta yang tak bisa kita diamkan. Gempuran bertubi-tubi Israel atas Gaza sejak 8 Oktober hingga Senin, 30 Oktober 2023 telah menelan korban jiwa warga Palestina hingga 8525 orang (Data Kementerian Kesehatan Palestina per 31/10/2023), sebagian besar korban tewas adalah anak-anak dan perempuan.
Jumlah ini sudah melebihi korban genosida Srebenica, Bosnia oleh pasukan Republik Srpska pimpinan Jenderal Ratko Mladić.
Resolusi Majelis Umum PBB mendorong agar terjadinya gencatan senjata Israel - Palestina yang didukung 120 negara pada Jumat 27 Oktober 2023. Resolusi ini ditolak mentah-mentah oleh Israel. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sesumbar mengatakan, gencatan senjata berarti menyerah kepada Hamas,
"Seruan untuk gencatan senjata adalah seruan agar Israel menyerah kepada Hamas, menyerah kepada terorisme... hal ini tidak akan terjadi, Saya bersumpah Israel akan berjuang sampai pertempuran ini kami menangkan”.
Desakan dunia untuk gencatan senjata lewat resolusi Majelis Umum PBB dibalas dengan serangan yang makin intensif, pemboman dan serangan udara tanpa jeda tersebut memutus komunikasi telepon dan internet di wilayah Jalur Gaza.
Kondisi ini menambah sengsara masyarakat Palestina. Tanpa air, tanpa listrik, stok makanan yang menipis ditambah rumah sakit tempat berlindungnya masyarakat sipil Palestina tak luput dari sasaran rudal Israel.
Sebagai bangsa yang punya catatan panjang pernah ditindas bangsa lain, Israel seharusnya paling sadar dampak penyiksaan dan genosida.
Ironisnya Israel yang dulu diinjak-injak Nazi di Eropa melakukan hal serupa dengan menyerbu ratusan desa-desa berpenduduk non-Israel pada 1948 setelah mereka diterima dengan tangan terbuka oleh bangsa Palestina.
Dengan dukungan persenjataan dari Inggris, harta dan lahan rakyat Palestina dijarah, orangnya diusir. Persis seperti perilaku Nazi dan pendukungnya terhadap bangsa Israel di Eropa.
Tak Perlu Jadi Muslim, Cukup Jadi Manusia
Ini bukan tentang perang agama. Fakta bahwa Israel menyasar semua warga Palestina tanpa memandang apa agamanya terlihat dari serangan serangan udara ke gereja tertua di Jalur Gaza Palestina, Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius, pada Kamis (19/10).
Sasaran rudalpun bukan lagi menjadikan kantong-kantong pertahanam Hamas sebagai sasaran, melainkan pemukiman-pemukiman padat penduduk di Gaza dan sekitarnya.
Juru bicara kelompok penganut yudaisme anti-Zionis yang juga seorang rabi Yisroel Dovid Weiss mengatakan “Dalam agama kami, membunuh dan mencuri jelas dilarang. Sebaliknya Israel mendirikan negaranya dengan mengambilnya dari orang-orang Arab. Itu sebabnya kami menangis bersama orang-orang Palestina"
Dalam wawancara dengan Anadolu, sebuah agensi berita dari Turki, Weiss membahas prinsip-prinsip Zionisme, ideologi pendiri negara Israel, serta penggunaan kekerasan terhadap warga Palestina dan perampasan tanah.
“Zionisme adalah ideologi negara Israel yang mencoba menampilkan dirinya sebagai negara Yahudi. Mereka mengklaim mewakili agama Yahudi, mereka mengklaim bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah suara orang-orang Yahudi di seluruh dunia yang memiliki keterikatan dengan Tuhan atau Taurat. Itu tidak benar,” kata Weiss, merujuk pada lima buku pertama kitab suci Yahudi dan Kristen.
“Muslim dan Yahudi telah hidup bersama selama berabad-abad, Zionis mengklaim bahwa penolakan terhadap negara mereka disebabkan oleh kebencian Muslim terhadap Yahudi. Negara Israel, dalam segala aspek, bertindak bertentangan langsung dengan toleransi dan larangan Taurat. Sebagai orang Yahudi yang taat, kami berdoa kepada Tuhan setiap hari agar negara Zionis Israel segera dilenyapkan, yang telah menyebabkan begitu banyak pertumpahan darah di kalangan warga Palestina dan Yahudi. Kami berdoa kepada Tuhan agar Palestina segera dibebaskan. Semoga Palestina merdeka, dan semoga dunia melayani Tuhan dengan harmonis,"
Saya tahu mengutip apa yang disampaikan oleh Weiss akan mengundang perdebatan. Tapi yang ingin saya tekankan apa yang dilakukan Israel lebih bersifat politis, penjajahan baru yang dilegalkan bahkan didukung oleh negara-negara adikuasa. Apalagi kita tahu tidak semua kaum Yahudi tergabung dalam kegiatan Zionisme.
Kelompok Yahudi anti Zionis ini banyak berada di Iran, Rusia dan berbagai negara pecahan Uni Soviet. Di Iran komunitas Yahudi anti Zionis tinggal dengan aman, bahkan mereka memiliki perwakilan di Parlemen. Mereka tak ingin pulang, bahkan menentang adanya gerakan kelompok Zionis yang 'pulang' ke Palestina. Sekali lagi menurut saya ini bukan tentang agama.
Kita bisa melihat long march dukungan untuk Palestina yang dilakukan berbagai negara mulai Eropa, Asia, Amerika hingga Afrika. Di London, 250 ribu orang berkumpul menyuarakan dukungannya terhadap Palestina dan mengecam penyerangan Israel.
Mereka bahkan melakukan long march sejauh sekitar 5 km. Padahal Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak jelas-jelas menyatakan bawa Inggris bersama Israel dalam serangannya di Palestina. Apa yang menggerakkan 250 ribu orang tersebut, jika bukan karena nurani dan empati sebagai manusia.
Sejak Israel melancarkan pengeboman terhadap Gaza menyusul gempuran dahsyat yang dilakukan militan Hamas pada 7 Oktober, ratusan ribu dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi, dan masih tinggal di dalam Gaza, sebuah wilayah kecil yang terjepit di antara Israel, Mesir, dan Laut Mediterania.
Bahkan saat kalian membaca tulisan ini, rudal-rudal Israel terus memborbardir Gaza, membuat anak kehilangan orang tua, orang tua kehilangan anaknya, semua tercerai berai. Dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera, Mahmoud seorang warga Palestina mengatakan,
"Kami tidak mengerti mengapa manusia bisa sekeji ini. Kami hidup dalam ketakutan. Tanpa air, tanpa listrik, tanpa makanan, cepat atau lambat kami akan mati dan mungkin itu yang terbaik"
Jika hari-hari terakhir yang kita keluhkan matahari yang begitu terik, hujan yang tak kunjung datang, kemacetan yang menggila, capres nggak ada yang bisa dipilih, bonus yang nggak turun dan ragam keluhan hal-hal duniawi lainnya,
maka bersyukurlah
karena bukan suara rudal dan bom yang menjadi pengantar tidur kalian,
bukan mayat bergelimpangan atau terjepit di antara runtuhan bangunan kota yang kita lihat,
bukan tangisan anak-anak yang merintih karena terluka dan harus dijahit tanpa obat bius yang kita dengar,
bukan tangisan panjang orang tua yang harus mengumpulkan bagian tubuh anaknya yang bercecer di jalanan yang kita saksikan...
dan bukan bau anyir bercampur debu tebal reruntuhan bangunan yang kita cium....
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Adakah daya kita untuk melawan Israel dan mengurangi nestapa rakyat Palestina?
Gunakan media sosial untuk bersuara. Terus suarakan fakta-fakta yang terjadi di Jalur Gaza. Jangan remehkan kekuatan jempol kita di media sosial, tentu saja dengan fakta yang terverifikasi dari media-media terpercaya.
Suara kecil kita dapat menjadi gerakan massal yang terus beresonansi dan terus menggema. Siapa pun kalian, suara kalian atas apa yang terjadi di Palestina akan berguna.
Jujur saya sendiri kadang tidak punya hati melihat anak-anak Palestina yang terluka bahkan tewas berseliweran di Instagram story. Bagi saya tak jadi soal kawan-kawan memposting video-video tersebut, justru saya berterima kasih karena telah selalu mengingatkan kami akan kondisi yang terjadi di Gaza.
Untuk yang tak bisa memposting tentang Palestina di media sosial dengan beragam alasan, kita bisa mengalihkannya dengan like dan comment. Cara yang sama untuk menggaungkan dukungan kita untuk Palestina.
Apalagi kita tahu raksasa tekonologi milik Bytedance dan Meta melakukan pemblokiran terhadap konten-konten yang ada di media sosial.
Cara lain adalah donasi melalui Yayasan yang kredibel. Hari ini (31/10/2023) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk masyarakat Palestina senilai Rp12 miliar. BAZNAS mengajak masyarakat Indonesia untuk berdonasi dan mendoakan keselamatan warga Palestina yang masih berada di bawah serangan Israel. Bantuan dapat disalurkan melalui link baznas.go.id/sedekahduniaislam.
Lalu bagaimana dengan memboikot produk Israel? Rasanya saya akan menulisnya secara terpisah. Mengingat sejarah panjang gerakan dan tingkat efektifitasnya.
Menutup tulisan ini saya meminjam apa yang disampaikan Paul Thomas Mann, seorang sastrawan Jerman, ia berkata “War is only a cowardly escape from the problems of peace" (Perang hanyalah pelarian pengecut dari masalah perdamaian).
Untuk Rakyat Palestina, Allah bersama kalian. Kami bersama kalian.
Comments
Post a Comment