“Mas, anak-anak dikumpulin. Kita diminta tanda tangan, semua diminta mengundurkan diri. Kantor tutup Mas..” secuil pesan singkat dari seorang kawan membuat saya bengong. Enam bulan setelah layoff besar-besaran, akhirnya salah satu media baru tempat saya bertemu kawan-kawan yang hebat itu berhenti beroperasi.
Lantai 15 di sebuah tower gurita media di Jakarta Pusat menjadi ‘rumah’ kami berkarya selama kurang lebih 18 bulan. Bukan newsroom pada umumnya, perpaduan ritme old school sekaligus new wave media. Ini adalah media berbasis web dan aplikasi dimana publisher, UGC dan inhouse production punya satu rumah. Pengguna akan mendapatkan berita dan informasi terbaru, bahkan UGC juga dapat membuat konten dalam bentuk video dan artikel. Cita-citanya ingin jadi media sosial lokal dipadu dengan news agregator. Premis yang menarik meski dalam perjalannya harus tambal sulam sana sini.
Tak semua kawan di divisi produksi memiliki latar belakang jurnalis, beberapa dari PH juga agency. Kami menyebut berita sebagai konten, memperlakukannya dengan visual terbaik entah video ataupun visual grafis yang tayang di aplikasi dan juga all platform media sosial. Banyak ‘kakak-kakak’ media konvensional dan digital di gedung seberang yang meremehkan si “anak” baru yang lahir ini. Bahkan kawan yang di dalampun banyak yang meragukan. Tapi kami jalan terus. Pembuktian-pembuktian kecil akhirnya membuat kami sedikit banyak diperhitungkan.
“Ih beda ya garapan kalian, lebih fresh aja lihatnya”
“Kereen. Ulang tahun pertama nggak tumpengan aja nih, bisa adain event off air gede, noh sebelah yang udah belasan tahun masih aja tumpengan tiap tahun”
“Selamat ya videonya menang di Asian Digital Media Awards”
“Eh video profil partai *tiiiit* terakhir garapan kalian mantab, ‘Bapak’ suka” eaaaa.
Namun kualitas rasanya tak cukup. Media bukan hanya tentang faktual, aktual, verifikasi data, inovasi dan kerja-kerja jurnalistik lainnya yang bermuara pada kepentingan publik. Kelangsungan hidup perusahaan media secara umum tidak dapat dilepaskan dari hukum besi segitiga: kapitalisasi, konsumen, dan periklanan. Ketiganya saling berkait.
Untuk beroperasi, sebuah perusahaan media juga butuh modal dan biaya operasional. Jumlahnya tak sedikit. Secara umum, kesehatan perusahaan media, baik cetak, penyiaran, maupun digital, hanya akan terjaga dengan dukungan iklan komersial. Iklan merupakan indikator ekosistem ekonomi yang dinamis, sekaligus darah bagi perusahaan media.
Awal 2023 lalu, di Amerika Serikat terjadi PHK massal terhadap pekerja media. Dari CNN, Washington Post, Vox Media, The Verge, New York Magazine, NBC, MSNBC hingha Buzzfeed melakukan PHK massal. Bahkan Vice, media digital favorit anak muda di banyak negara, menyatakan perusahaan mereka bangkrut pada Mei 2023.
Studi tahun 2021 oleh Pew Research Center menyebutkan pekerjaan di ruang redaksi mengalami penurunan yang stabil di Amerika Serikat, turun dari 114.000 menjadi 85.000 jurnalis antara tahun 2008 dan 2020.
Bagaimana dengan Indonesia? Beberapa bulan terakhir pengurangan karyawan perusahaan media di Indonesia sepi pemberitaan. Mulai dari media konvensional seperti televisi hingga sejumlah media digital mengurangi jumlah karyawannya atas dasar efisiensi. Kalau saya tulis nama media yang melakukan PHK mungkin tak ada yang mengira, semua jadi kasak-kusuk kawan-kawan jurnalis di masing-masing newsroom sambil was-was semoga tak bernasib serupa. Dari media yang digawangi seorang tokoh ternama yang kalau bicara selalu berima dan dielu-elukan anak muda hingga media besar yang umurnya sudah puluhan tahun dan menggurita, semua melakukan hal yang sama. Mengurangi karyawan atau operasionalnya diberhentikan.
Pada akhirnya kekuatan modal jadi salah satu faktor penentu utama bagi perusahaan media untuk berlayar. Namun kondisi hari ini banyak media baru bermunculan, homeless media menjamur bak musim hujan di media sosial membuat kue iklan makin kecil. Belum lagi para pengiklan juga harus ‘bagi-bagi’ untuk influencer dan KOL yang dirasa lebih efektif untuk memasarkan produk dan jasa. Instan.
Hidup di era digital di sisi lain membuat banyak pihak mendirikan media bukan karena idealisme, melainkan sebagai sebuah peluang ekonomi. Hal inilah yang mendasari muncul banyak media daring di Indonesia yang tidak mengedepankan kredibilitas. Media kemudian mencatut banyak informasi yang pertama kali muncul di media sosial. Persoalan kemudian muncul ketika sesuatu yang banyak diperbincangkan tersebut merupakan informasi yang belum terverifikasi dan tidak jelas konteksnya.
Meski di sisi lain, saya yakin tak semua media hari ini menghamba pada algoritma, mengikuti hal-hal yang tengah menjadi trending, larut pada obrolan netizen dan melupakan hakikat pers adalah melayani khalayak dengan memberikan informasi yang memberi kejelasan faktual dan pemberitaan sesuai kaidah kebenaran serta objektivitas. Tak selamanya yang trending adalah sesuatu yang penting. Pun tak semua yang penting harus selalu trending.
Hari ini media tak bisa lagi kaku menghadirkan berita dan informasi. Prinsip jurnalistik masih dijaga namun penyajiannya lebih berwarna. Kehadiran platform media sosial sudah seharusnya digunakan sebaik mungkin untuk melebarkan jangkauan audiens karena content creator hari ini banyak pula yang merangkum berita dan informasi untuk Gen Z dan Millennial meski tanpa verifikasi. Salut untuk satu media “tua” yang jurnalisnya hadir dalam sebuah podcast politik di youtube. Obrolan ala newsroom yang cair namun bergizi memberikan fakta dan beragam bocoran yang terverifikasi, pun terkonfirmasi, karena mereka turun langsung ke lapangan atau cek langsung ke yang bersangkutan.
Empat bulan tak lagi jadi kuli tinta membuat saya slow down sejenak atau mungkin seterusnya. Tak mengikuti semua update berita tiap menitnya. Saya jadi lebih selektif memilih dan mengkonsumsi media, bukti pada akhirnya publik memilih media yang teruji, terverifikasi dan tak hanya mengejar klik melalui judul penuh sensasi minim esensi.
Di akhir tulisan ini saya mengucapkan terima kasih semua kawan-kawan lantai 15, untuk peluh keluh, karya, tawa dan keriaan bersamanya. Tak lama tapi sangat membekas. Tak ada ada yang disesali. Tak ada yang perlu dicaci karena semua yang terjadi di lantai 15 adalah cerita yang membentuk kita hari ini. Bangga bisa jadi bagian super team, once Buddies, forever Buddies!!
Comments
Post a Comment