Skip to main content

Tambora, Indomie Pagi Buta & Hujan Bintang

Ini pertama kalinya saya naik gunung pakai mobil sampai pos terakhir.
Dari sekian gunung yang didaki, gunung yang satu ini membekas di hati. Bukan karena tingginya, tapi karena cara pendakiannya, sejarah di baliknya dan tim hore yang terpaksa nerbangin drone gara-gara “tuan rumah”nya kesasar.                                       
                                                               
Adalah Nisa si Host bodor, Raden Mas Garry yang cekatan, Dolfi wajah cadas hati anak mas, dan Revi yang doyan hiking yang jadi partner trip kali ini.. Tak lupa bantuan super dari Geopark Nasional Tambora (Mbak Fitri, Bu Alfi, Pak Opik, Mas Dani, Mas Amir dan Mbak Adis)


                                                      Bersama Tim Geopark Nasional Tambora


Pendakian Tambora lumayan nyeleneh untuk jadwal peliputan. Pendakian dilakukan di hari-hari akhir dengan perhitungan cuaca dan beberapa materi yang harus kami ambil dulu. Geopark Nasional Tambora menawarkan kami untuk melakukan pendakian menggunakan mobil. Sungguh menggoda. Karena waktu yang singkat dan target yang tak boleh meleset, kami menerima dengan gegap gempita


                                                                                                                                      Gunung Tambora, 2850 mdpl
                                 
Jalur Piong adalah jalur yang kami lewati. Jalur ini memang dibuka khusus untuk kendaraan ground clereance tinggi, seperti motor trail atau mobil Four Wheel Drive 4×4. Jalur ini merupakan satu dari lima jalur yang ada untuk mencapai puncak Tambora.




Jarak dari Pos 1 menuju Pos V mencapai 21 km dengan rata rata waktu tempuh hingga empat jam, dilanjutkan jalan kaki sekitar 1,5 jam menanjak menuju kawah. Secara teori seperti itu. Karena nyatanya waktu yang kami butuhkan adalah 7 jam dari pintu gerbang jalur Piong. 


Ada dua mobil. Satu mobil merah menyala ber-AC yang nyaman, dan satu lagi mobil dengan bak semi terbuka, dengan kursi kayu memanjang di sisi kanan kirinya. NIsa dan Revi ada di mobil merah, saya, Gary dan Dolfi ada di mobil bak semi terbuka.
Medan lumayan landai di 30 menit pertama, selanjutnya…spektakuler. Kami (saya, Gary, Dolfi) di koyak di bak belakang. Apalagi Dolfi, badannya yang tipis mental ke kanan ke kiri saat melewati jalanan berlubang naik turun.

“Lemesiiin ajeeeee Boossss” celoteh Dolfi sebelum jatuh jatuh terjungkal. Hahaha. Dari hari pertama "ketipisan", kelastisan dan "keringanan" Dolfi  bikin dia sering nyungsep di mobil.

Semakin ke atas jalur makin menyempit, akar-akar pohon dan batu-batu beragam ukuran berserakan di sepanjang jalan. 

Butuh driver handal untuk melalui jalur pendakian ini, salah kemudi, lubang-lubang besar menanti.

Untungnya yang nyetir juaraaa.
Lepas dari Pos 2, jalur mobil bertambah ekstrem. Pepohonan tinggi sudah tak terlihat lagi, berganti dengan sabana hijau tak berujung. Kami beruntung karena cuaca cerah, gugusan bukit bergulung dengan langit senja yang menggantung. Tak ada foto, apalagi instastory sangking terpesonanya kami.
Empat perjalanan rupanya kami baru berhasil sampai di Pos 3.Tak lama kami beristirahat, sang juru kemudi, meminta kami untuk segera naik ke mobil karena jalur yang dilewati akan semakin berbahaya kala malam tiba.


Benar saja lepas dari Pos 3,medan semakin menggila. Roda-roda mobil berulang kali harus terjebak dalam lumpur atau tanah berpasir penuh batu. Tingginya ilalang yang mencapai 1,5 meter membuat pengemudi harus ekstra hati-hati.
Kursi kayu di mobil bak semi terbuka akhirnya meryerah, dan copot setelah sekian jam menahan goncangan mobil. Alhasil kami ngemper di lantai mobil. 

Sekali berguncang pantat mencumbui besi. Untung pantat saya tebal, lha mereka (nunjuk Gary, Dolfi) tulang semua. Hahahaha.
Di depan kami terkadang hanya nampak ilalang tinggi yang diterobos begitu saja. Entah darimana juru kemudi tahu jalan mana yang harus dilewati. Bibir saya komat-kamit mengucap doa agar kami tak salah jalan. Sesekali kami harus turun, atau justru naik dan meloncat-loncat di atas mobil. Kata Pak Opik biar mobil bisa jalan. Saya nurut saja.
Beberapa tanjakan bisa mencapai kemiringan 70 derajat. Tak jarang mobil yang saya tumpangi harus menunggu mobil di depan untuk berhasil melewati tanjakan atau sebaliknya menunggu mobil di belakang agar dapat memastikan tanjakan berhasil ditaklukkan.
7 jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Pos 5. Dengan tenaga tersisa kami mendirikan tenda, menyalakan api unggun, menghangatkan badan sekaligus rebus indomie kuah lengkap dengan telur dan kornet. (Bravoooo Mbak Fitri dan Bu Alfi)
Sambil nyeruput mie kaldu ayam, ada angin sejuk yang membisiki kami. Mie-nya memang enak, tapi viewnya yang bikin hati jadi ayem. Gugusan-gugusan bintang terlihat jelas, beberapa kali kami melihat bintang jatuh.
“Coi hyperlaps cakep nih” celetukan yang membuyarkan kenikmatan.
Lupa sesaat kalau kita kerja.
“udah on cam pas nyampe belum Nis?”
“bajunya sama kaya yang tadi kan?”
“ayo cepet tidur besok jam 4 muncak”
Kadang momen kaya gini bikin kita lupa kalau kita kerja. 
Beberapa orang menyebutnya pendakian, ada yang bilang petualangan, kalau saya menyebutnya “get paid to have fun”.




bersambung -
Sambil nulis ini saya whats app Gary.
Saya : “nulis ngege iki nggarai recall memory. Mbayangno mangan indomie karo ndelok bintang koyo ditabur nang langit Tambora” (Nulis kaya gini bikin recall memory. Mbayangin makan Indomie sambil lihat bintang seperti disebar di langit Tambora)
Gary : “tak seindah dulu Pak, sakiki lampu Philips nang langit-langit wes Alhamdulillah” (Nggak seindah dulu pak, sekarang lampu philips di langit-langit udah alhamdulillah)
“……..” bingung mau sedih apa ketawa. hahahaha


Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...