Ini pertama kalinya saya naik gunung pakai mobil sampai pos terakhir.
Ada
dua mobil. Satu mobil merah menyala ber-AC yang nyaman, dan satu lagi mobil
dengan bak semi terbuka, dengan kursi kayu memanjang di sisi kanan kirinya.
NIsa dan Revi ada di mobil merah, saya, Gary dan Dolfi ada di mobil bak semi
terbuka.
Semakin
ke atas jalur makin menyempit, akar-akar pohon dan batu-batu beragam ukuran
berserakan di sepanjang jalan.
Butuh driver handal untuk melalui jalur pendakian ini, salah kemudi, lubang-lubang besar menanti.
Untungnya yang nyetir juaraaa.
Benar
saja lepas dari Pos 3,medan semakin menggila. Roda-roda mobil berulang kali
harus terjebak dalam lumpur atau tanah berpasir penuh batu. Tingginya ilalang
yang mencapai 1,5 meter membuat pengemudi harus ekstra hati-hati.
bersambung -
Dari
sekian gunung yang didaki, gunung yang satu ini membekas di hati. Bukan karena
tingginya, tapi karena cara pendakiannya, sejarah di baliknya dan tim hore yang
terpaksa nerbangin drone gara-gara “tuan rumah”nya kesasar.
Adalah
Nisa si Host bodor, Raden Mas Garry yang cekatan, Dolfi wajah cadas hati anak
mas, dan Revi yang doyan hiking yang jadi partner trip kali ini.. Tak lupa
bantuan super dari Geopark Nasional Tambora (Mbak Fitri, Bu Alfi, Pak Opik, Mas
Dani, Mas Amir dan Mbak Adis)
Pendakian Tambora lumayan nyeleneh untuk jadwal peliputan. Pendakian dilakukan di hari-hari akhir dengan perhitungan cuaca dan beberapa materi yang harus kami ambil dulu. Geopark Nasional Tambora menawarkan kami untuk melakukan pendakian menggunakan mobil. Sungguh menggoda. Karena waktu yang singkat dan target yang tak boleh meleset, kami menerima dengan gegap gempita
Gunung Tambora, 2850 mdpl
Bersama Tim Geopark Nasional Tambora
Gunung Tambora, 2850 mdpl
Jalur
Piong adalah jalur yang kami lewati. Jalur ini memang dibuka khusus untuk
kendaraan ground clereance tinggi, seperti motor trail atau mobil Four Wheel
Drive 4×4. Jalur ini merupakan satu dari lima jalur yang ada untuk mencapai puncak Tambora.
Jarak dari Pos 1 menuju Pos V mencapai 21 km dengan rata rata waktu tempuh hingga empat jam, dilanjutkan jalan kaki sekitar 1,5 jam menanjak menuju kawah. Secara teori seperti itu. Karena nyatanya waktu yang kami butuhkan adalah 7 jam dari pintu gerbang jalur Piong.
Jarak dari Pos 1 menuju Pos V mencapai 21 km dengan rata rata waktu tempuh hingga empat jam, dilanjutkan jalan kaki sekitar 1,5 jam menanjak menuju kawah. Secara teori seperti itu. Karena nyatanya waktu yang kami butuhkan adalah 7 jam dari pintu gerbang jalur Piong.
Medan
lumayan landai di 30 menit pertama, selanjutnya…spektakuler. Kami (saya, Gary,
Dolfi) di koyak di bak belakang. Apalagi Dolfi, badannya yang tipis mental ke
kanan ke kiri saat melewati jalanan berlubang naik turun.
“Lemesiiin ajeeeee Boossss” celoteh Dolfi sebelum jatuh jatuh terjungkal. Hahaha. Dari hari pertama "ketipisan", kelastisan dan "keringanan" Dolfi bikin dia sering nyungsep di mobil.
Butuh driver handal untuk melalui jalur pendakian ini, salah kemudi, lubang-lubang besar menanti.
Untungnya yang nyetir juaraaa.
Lepas
dari Pos 2, jalur mobil bertambah ekstrem. Pepohonan tinggi sudah tak terlihat
lagi, berganti dengan sabana hijau tak berujung. Kami beruntung karena
cuaca cerah, gugusan bukit bergulung dengan langit senja
yang menggantung. Tak ada foto, apalagi instastory sangking terpesonanya kami.
Empat
perjalanan rupanya kami baru berhasil sampai di Pos 3.Tak lama kami
beristirahat, sang juru kemudi, meminta kami untuk segera naik ke mobil karena
jalur yang dilewati akan semakin berbahaya kala malam tiba.
Kursi
kayu di mobil bak semi terbuka akhirnya meryerah, dan copot setelah sekian jam
menahan goncangan mobil. Alhasil kami ngemper di lantai mobil.
Sekali berguncang pantat mencumbui besi. Untung pantat saya tebal, lha mereka (nunjuk Gary, Dolfi) tulang semua. Hahahaha.
Sekali berguncang pantat mencumbui besi. Untung pantat saya tebal, lha mereka (nunjuk Gary, Dolfi) tulang semua. Hahahaha.
Di
depan kami terkadang hanya nampak ilalang tinggi yang diterobos begitu saja. Entah
darimana juru kemudi tahu jalan mana yang harus dilewati. Bibir saya
komat-kamit mengucap doa agar kami tak salah jalan. Sesekali kami harus turun,
atau justru naik dan meloncat-loncat di atas mobil. Kata Pak Opik biar mobil bisa
jalan. Saya nurut saja.
Beberapa
tanjakan bisa mencapai kemiringan 70 derajat. Tak jarang mobil yang saya
tumpangi harus menunggu mobil di depan untuk berhasil melewati tanjakan atau
sebaliknya menunggu mobil di belakang agar dapat memastikan tanjakan berhasil
ditaklukkan.
7
jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Pos 5. Dengan tenaga tersisa kami
mendirikan tenda, menyalakan api unggun, menghangatkan badan sekaligus rebus
indomie kuah lengkap dengan telur dan kornet. (Bravoooo Mbak Fitri dan Bu Alfi)
Sambil
nyeruput mie kaldu ayam, ada angin sejuk yang membisiki kami. Mie-nya memang
enak, tapi viewnya yang bikin hati jadi ayem. Gugusan-gugusan bintang terlihat
jelas, beberapa kali kami melihat bintang jatuh.
“Coi
hyperlaps cakep nih” celetukan yang membuyarkan kenikmatan.
Lupa sesaat kalau kita kerja.
“udah
on cam pas nyampe belum Nis?”
“bajunya
sama kaya yang tadi kan?”
“ayo
cepet tidur besok jam 4 muncak”
Kadang
momen kaya gini bikin kita lupa kalau kita kerja.
Beberapa orang menyebutnya pendakian, ada yang bilang petualangan, kalau saya menyebutnya “get paid to have fun”.
Beberapa orang menyebutnya pendakian, ada yang bilang petualangan, kalau saya menyebutnya “get paid to have fun”.
bersambung -
Sambil
nulis ini saya whats app Gary.
Saya : “nulis
ngege iki nggarai recall memory. Mbayangno mangan indomie karo ndelok bintang
koyo ditabur nang langit Tambora” (Nulis kaya gini bikin recall memory. Mbayangin makan Indomie sambil lihat bintang seperti disebar di langit Tambora)
Gary : “tak
seindah dulu Pak, sakiki lampu Philips nang langit-langit wes Alhamdulillah” (Nggak seindah dulu pak, sekarang lampu philips di langit-langit udah alhamdulillah)
“……..”
bingung mau sedih apa ketawa. hahahaha
Comments
Post a Comment