Skip to main content

Sesuatu di Puncak Tambora

Lima menit pertama kami berjalan layaknya zombie, sebelum akhirnya sadar Nisa harus PTC beberapa materi. 

*PTC = on cam = Host ngemeng sesuatu yang berafedah = saatnya bekerja :D




Hari ke 8 perjalanan kami di Geopark Nasional Tambora. Cuaca cerah, banyak teriknya. Jingga menyala senjanya. 

Tengah malam, setelah 7 jam perjalanan kami tidur tanpa berganti pakaian. 

Jam 4 pagi kami bangun. Badan masih terasa pegal, meski kami tak mendaki sama sekali. Pertama kali dalam hidup perjalanan menuju puncak gunung, 3/4 ditempuh menggunakan mobil. Cerita perjalanan menggunakan mobil sampai pos terakhir jalur Pendakian Piong - Tambora klik di sini

Angin mengguncang tenda, kami mengumpulkan nyawa sambil terhuyung-huyung mendenggar panggilan. "Ayooo Mas Mbak, kalau kesiangan nggak dapet sunrise". Begitu keluar tenda brrrr...dinginnya lumayan juga.

Barang pertama yang saya cari adalah...
Tolak angin. :D

Lima menit pertama kami berjalan layaknya zombie, sebelum akhirnya sadar Nisa harus PTC beberapa materi. *PTC = on cam = Host ngemeng sesuatu yang berafedah = saatnya bekerja.



Jalan datar hanya sekitar 200 meter diawal, lalu tanjakan tanpa ampun hingga puncak. 
Beberapa kali lutut hampir menyentuh muka. 

Kami mendaki ditengah kabut pekat. Cahaya-cahaya senter seperti terperangkap. Jaranngnya pendaki menggunakan jalur Piong untuk mencapai puncak membuat tanda jalur setapak sulit dideteksi.

Itulah mengapa menggunakan jasa pemandu atau guide dari warga lokal itu penting karena tak ada jalur setapak yang bisa dijadikan patokan. 




Sekitar 2 jam pendakian kami sampai di puncak. Dasar kawah yang menganga terlihat, meski harus dipayungi kabut tebal. Sambil menunggu kabut lewat, saatnya Nisa beraksi. 

Bagi saya pribadi pantang hukumnya seorang host hanya ha-ha hi-hi, tanpa informasi. Apalagi teriak-teriak tanpa esensi. 
Sah-sah saja menunjukkan serunya perjalanan, tapi jangan sampai yang dihadirkan hanya sekadar aksi, apalagi gimmik.

Tapi namanya juga TV, ukurannya tetap share dan rating. Kadang-kadang kejebak sendiri, tapi tetap berusahalah sebisa mungkin ada informasi.

Back to Nisa.

Dari awal perjalanan di Minahasa beberapa bulan sebelumnya kami lumayan satu frekuensi, apalagi inner circle kerjaan juga itu-itu juga. Tak pelak urusan kerja juga banyak diselingi perghibahan. :D

Dari cara menyampaikan materi, dan daya tahan di lapanan dia salah satu yang terbaik. preet. hahaha. Tapi serius, nih anak mau diceburin ke laut, berenang di kali, diterbangin paralayang, sampai manjat tebing dalam satu rangkaian trip dihajar aja. Selamaa....sajennya kuat. hahaha




Apa sajennya? mampir Indomaret, Alfamart, dan toko-toko kelontong, lalu beli makanan ber-MSG tinggi. Tambahkan susu milo dan sejenisnya, dia udah happy hahaha.

Tapi.....kalo kecapekan atau kelaperan doi jadi susah fokus. Ini juga yang terjadi di Tambora. Penonton lihat hasilnya mulus, tapi dibalik itu semua ada proses take belasan kali. Ini masih mendingan daripada take di Bukit Kasih, Minahasa yang kit take sampai 50-an kali. :D


Hasil on cam Nisa di puncak Tambora bisa klik sini atau klik sini

Hingga pukul 6 matahari belum nampak juga.
"Sabar Mas, mungkin sebentar lagi" Bu Alfi dari Geopark Tambora menenangkan.

Kami menunggu dan terus menunggu. Drone tak bisa terbang karena jarak pandang sangat pendek sekali. 

Pukul 7 pagi. Kabut masih tebal.
"Mbon gw tidur dulu yak" Dolfi pamitan rebahan diantara eddelwise yang bermekaran.

Pukul 8 pagi seluruh tim dalam posisi rebahan. Saya sudah dalam posisi pasrah. Ditimang-timang angin sepoi saya-pun menyusul menguap, lalu terlelap, sampai akhirnya...

"Mbon bangun woii, kerja lu! tidur mulu" Nisa membangunkan saya. Songong.

Buka mata, kabut sudah hilang, kawah terbuka, matahari lumayan tinggi. 4 jam kami harus menunggu matahari pemanasan, menyingkirkan kabut. Lanskap depan mata cuma bisa bikin nganga. Kawah Tambora bak mangkok raksasa, sabana dan bukit-bukit seperti akar pohon yang kami lewati sebelumnya menjalar menuju kaki Tambora. Langit mendadak jadi biru sebiru-birunya. Sempurna.


Saat berdiri di bibir kaldera yang terbuka lebar, deru angin menampar wajah, dinginnya terasa mencekam. Aura kedahsyatan letusan 10 April 1815 masih sangat terasa. 


Letusan mahadahsyat yang menyebabkan kekosongan di dalam tubuh gunung, lalu ambruk ke dalam tubuh gunung, membentuk kaldera dengan garis tengah mencapai 9 km, dan bagian dasarnya 6 km.

Ini salah satu yang bikin Tambora Istimewa.
"Gar mainkan drone, Dolf kita ambil PTC lagi" dan sejam berikutnya daftar belanjaan kami lengkap sudah. 




Selesai kerja saatnya santai. Sesi foto sana sini, sambil bikin instastory.





Tambora bukan sekadar gunung perkasa di Tanah Sumbawa. Letusannya dua abad silam mengubah dunia, memakan puluhan ribu korban jiwa, menciptakan Eropa tanpa musim panas, mengubur tiga kerajaan, dan menciptakan tsunami hingga ratusan kilometer jauhnya.

Lembo Ade Tambora, kita jumpa lagi segera.







All photo by @garrystevano
Video by @garrystevano & @dolfipiris

Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...