Skip to main content

Yang Tak Terekam Kamera: Nenek, Air Meluap, dan Kentut Jahanam


Mengulang sedikit tulisan sebelumnya, setelah dua hari ada di dalam hutan Betung Kerihun, Kalimantan Barat, saya melihat sesosok nenek bungkuk di dalam hutan. 
Asumsi awal, nenek itu jelas bukan manusia.





















("rumah" kami di TN Betung Kerihun di tepian Sungai Embaloh)

(detil perjumpaan di post sebelumnya - klik sini coy)

Setelah pertemuan "romantis" nan syahdu di bulan purnama kala itu, kami mendapat sebuah kejutan.

Tepat tengah malam kami dijemput paksa Panglima Perang, Kepala Adat dan Tetua Kampung karena dianggap melanggar hukum adat, memasuki kawasan hutan tanpa izin desa.

Desa yang merasa dilangkahi adalah Desa Sadap, disinilah kami sempat berdebat karena kami merasa sudah mengantongi izin masuk kawasan melalui Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun.

Panglima Adat ingin menyita kamera kami.
Wah terus kita mau ngapain Pak kalau kamera disita. Mancing? 

Seorang tim bahkan dengan lantang berucap dengan heroik "kamera ini nyawa kami Pak, mau ngapain kami di sini kalau nggak ada kamera?".

Ya liburan lah nyeeeet. Jawab saya dalam hati. 😎

Setelah pembicaraan alot, Kepala Adat Desa Sadap meminta semua kegiatan dihentikan dan meminta kami untuk kembali ke Desa Sadap keesokan paginya, meski kami masih punya agenda dua hari dua malam lagi di TN Betung Kerihun.

Jam 2 pagi kami baru masuk tenda, para pengurus desa tidur di akar-akar pepohonan besar di pinggir tenda. 

Hujan turun. Deras. Sekali. 

Tapi entah kenapa kami malah tertidur pulas. 
Kami berenam yang ukurannya segede kingkong kecuali Ovan saling menghangatkan diri dalam tenda.

Baru dua jam kami tertidur, tiba-tiba...

"Mas Mbon, Mas Yudi, bangun mas...Mas, Bangun Mas" Pak Tungku guide kami membangunkan dengan nada panik.

"kenapa Pak Tungku? udah mau jalan lagi"  Saya lihat melirik jam, baru jam 4.15.

"Air naik Mas, sudah di sebelah tenda" nada Pak Tungku semakin tinggi berusaha menyaingi suara hujan yang turun.

"Dibangunkan yang lain Mas, saya bantu beres barang di depan" 

Saya antara sadar nggak sadar berusaha mencerna.
Mas Yudhi yang juga terbangun oleh Pak Tungku sekarang dalam posisi duduk tapi MATANYA tertutup. Asyu. 

Om Popo terbangun, sigap ambil senter. "Bentar gw cek Mbon". tak sampai dua menit, om Popo balik "Njir udah deket tenda, bangun woi" minim reaksi.
"WOI BABIIK BANGUN, AIR SUNGAI MELUAP WOI" Om Popo teriak. efektif.

Adegan selanjutnya mirip film multi genre, komedi, thriller dan horor. Kami panik, cari senter atau head lamp di tengah kondisi gelap gulita. 

Pasak tenda kami cabut asal, gulung kemudian. Terhuyung kami menuju arah pepohonan dengan membawa semua barang-barang. kuyup. 

Dalam hitungan menit bebatuan yang terlihat di foto atas, tertutup penuh air sungai. Kami cuma bisa bengong antara shock, lelah, bingung, kurang tidur. 

Yang pasti saya masuk angin parah. Senggol dikit kentut 😂

Kami terjaga hingga pagi, tak banyak bicara. Kembali menaiki perahu dengan energi yang tersisa.  

Dua jam perjalanan kembali yang berasa cuma lima menit karena saya ngorok sepanjang perjalanan. 😀






Kami tiba di Desa Sadap masih belum siang. Tanah basah, ibu-ibu sibuk menjemur gabah, beberapa anak berlarian di depan rumah panjang.

Mas Yudi tiba-tiba mencolek "Mbon yang ini neneknya?"
Mas Yudi menunjuk seorang nenek berambut putih yang bungkuk 90 derajat sedang menyapu halaman rumah, tak jauh dari kami berdiri.

Wadidaw. Ai punya kaki langsung kaku-kaku. 
Karena memang mirip. 
Rambut panjanganya putih diurai sebahu menutupi keriput wajahnya yang tak terhitung.

Sadar ada yang mendekat si nenek menoleh, saya rasanya sudah ingin pingsan. Tapi si nenek rupanya cuek-cuek saja, senyumpun tidak. Ia kemudian lenggang kangkung masuk ke dalam rumah.



Foto di atas adalah Desa Sadap yang ada di pinggiran kawasan Taman Nasional Betung Kerihun,Kalimantan Barat. Sementara foto  dengan editan alakadarnya di pojok kiri bawah hanya sekadar ilustrasi belaka.

Waktu itu baterai kamera benar-benar kami hemat, semua handphone dalam kondisi sekarat, pun percuma karena sinyalpun tak ada. Status sebagai "tahanan" juga membuat kami tak enak hati untuk sembarangan foto sana-sini. Alhasil saya tak punya satupun foto di desa ini.

Selidik punya selidik, saya mencoba mencari tau tentang si nenek, saat kami ngobrol dengan Panglima Perang dan Ketua Adat Desa Sadap. Saat saya sudah menceritakan kronologis A-Z, Panglima Perang hanya menjawab "itu nenek cuma mengingatkan bahwa kalian masuk hutan dengan cara yang nggak benar"

Bahiik, manut Pak Panglima Perang.

Panglima bercerita bahwa Taman Nasional sudah terlalu sering tak menganggap kehadiran desa mereka. Padahal garda terdepan penjaga Taman Nasional ini adalah mereka yang tinggal di Desa Sadap. 

Sambil mendengarkan saya nyeruput teh panas. 
Sebuah kesalahan. Fatal.

"preeeeeeet" masuk angin membuat pantat saya keceplosan kentut sodara-sodara.
Celakanya, kentut saya keluar saat obrolan jeda, hening.

Ramon, Mas Yudi, Ovan, Popo pada melotot ke arah saya. 
Perlahan saya menoleh ke arah Panglima "Maaf Pak, masuk angin"

Panglima terdiam. Kepala Adat pun demikian..lalu tertawa terbahak-bahak.

Kamipun ikut tertawa. Duh Gusti...

----

Singkat cerita, setelah tertahan dua hari semalam karena manunggu Pihak Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun datang dari Pontianak, akhinya digelar juga sidang adat. 
TNBK dinyatakan bersalah, mereka harus membayar sejumlah uang dan tiga ekor babi.

Kami melenggang, bersyukur, terutama saya yang bisa lolos setelah kentut sembarangan depan Panglima Perang cooy, Panglima Perang yang tatonya sebadan itu. hahaha Alhamdulillah.

Terima Kasih Betung Kerihun 
Sehat-sehat kalian Tim Somplak dimanapun berada :D








Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...