Skip to main content

Nenek Hutan Perawan Betung Kerihun



Tepian Betung Kerihun, Maret 2013.

Alkisah, kami bermalam di tengah hutan Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat. Melawan riak sungai ganas, kami akhirnya tiba di hutan perawan yang tinggal selangkah menuju negeri jiran.

Setelah seharian liputan, daki pohon 25 meteran, tubing, makan malam, ngobrol gak karuan, saatnya istirahat malam. Kami berempat @ramonytungka  @yudhincex12  @giovanirainanto tidur dalam tenda. Sementara  @popo_sidik tidur di luar tenda.

Yang saya ingat waktu itu bulan purnama, riak sungai & suara binatang malam terdengar samar. Karena merasa panas, saya keluar tenda, gelar sleeping bag, sekitar 5 langkah dari Popo.

Saya nggak bisa tidur, setiap coba nutup mata, selalu gagal. Pandangan seperti digiring utk selalu melihat ke arah hutan

Karena purnama, hutan rapat di sebelah kiri, nampak menciptakan labirin-labirin pucat

Dan mendadak, saya merasa suasana sekitar begitu ramai, seperti banyak orang lalu lalang

OK. Feeling udah nggak enak.

Saya coba nutup mata tetep nggak bisa, sampai akhirnya terdengar suara daun kering terinjak di lantai hutan.

Rusakah? Bukan
Harimau? Tak ada harimau di Kalimantan
Ular? Bisa jadi.

Suara gesekan daun kering itu terdengar makin dekat. Saya berusaha mati2an nutup mata. Tapi lagi-lagi, dorongan membuka mata, terasa lebih kuat

Mata terbuka, memandang lurus hutan lebat yang ditembus purnama.

Seperti ada yang bergerak di dalam hutan.
Saya amati lebih teliti, memastikan ini bukan mimpi.

Bayangan itu tampak semakin jelas.

di tengah lebatnya hutan, saya melihat sesosok orang tua berambut putih sebahu, awut2an dan bungkuk 90 derajat, semacam orang ruku saat sholat.

Badan saya kaku. Tapi mata tetap tebuka

Sosok seperti nenek2 ini, berjalan pelan, menyamping arah kanan. Badannya terseok-seok dan renta. .
Sampai akhirnya dia berhenti.
Lalu menoleh perlahan
Matanya melotot tajam.

Dan.... ia pun tersenyum lebar,
Menyeringai!!!

Badan kaku, lidah kelu, ingin teriak tapi tertahan. Saya berhasil menutup mata, tapi macam orang ketindihan.
Entah gimana ceritanya, kaki bisa digerakkan, saya kembali masuk ke tenda dengan banjir keringat.

Saya cerita ke semua Tim waktu itu.
Esok dini harinya, Panglima Adat, Kepala Suku, Kepalas Desa dan Panglima Perang mendatangi kami, kami dianggap melanggar adat dengan masuk hutan tanpa ijin.

Singkat cerita kami ditahan, lalu dibawa ke desa Sadap, yang letaknya belasan kilometer dari lokasi kami, dan hanya bisa dijangkau dengan klotok.

Dan puncak kejutannya, nenek bungkuk yg saya lihat tengah malam di hutan, ada di Desa itu. Nyata. Bikin nganga


😁

Siapa nenek itu? lanjut di post berikutnya.
klik

Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...