Skip to main content

"Darah itu Merah Jenderal" dan Trauma Tahunan Satu Generasi

"Darah itu merah, Jenderal! Bukan main wanginya minyak wangi, Jenderal! Begitu harum sehingga mengalahkan amis darah sendiri"

Penggalan dialog dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI itu ternyata masih terngiang hingga saat ini. Film yang membuat saya dan ratusan ribu bahkan jutaan pelajar di Indonesia panas dingin dalam satu malam yang sama.
Hubungan saya dengan peristiwa 1965 dimulai tahun 1992, bocah SD tahun pertama yang dipaksa banyak hal di satu malam yang penuh paksaan ini.

1. Dipaksa terjaga tiga jam lebih, mulai Dunia Dalam Berita jam 9 malam.
2. Dipaksa menulis review dan sinopsis film pada kertas HVS dengan tulisan tangan yang dikumpulkan tiap 1 Oktober.
3. Dipaksa mempercayai semua episode dalam film Pengkhianatan G30SPKI adalah fakta dan PKI adalah dalang Gestapu.

"Siksaan" psikologis itu dimulai dari menit-menit pertama, potongan kliping berita koran disambut dengan penyerangan jamaah salat subuh di sebuah langgar dengan musik super mencekam. Kekejaman PKI di ruang sosial sebelum 1965 ditunjukkan melalui dan ilustrasi dari peragaan intimidasi terhadap kelompok agama dan kliping koran-koran menyangkut aksi sepihak petani yang berani melakukan kekerasan terhadap aparat TNI.

Adegan demi adegan terus memuncak hingga proses penculikan para Jenderal oleh Paskuan Tjakrabirawa. Siapa bisa lupa adegan penembakan Jenderal Ahmad Yani, babak Putri D.I Panjaitan yang membasuh wajahnya dengan darah sang ayah hingga visual puncak penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya sungguh membekas di kepala.

"Saya pemahat jenderal, sekarang saya akan memahat wajah Jenderal"

"Arit ini arit tumpul, sekarang mata Jenderal akan menikmati karat"

"Bukan main wanginya minyak wangi Jenderal, begitu harum hingga mengalahkan bau amis darah sendiri"

"Penderitaan itu pedih Jenderal, pedih! tapi tidak sepedih penderitaan rakyat"

Bocah kelas satu SD itu ketakutan setengah mati saat film selesai, lewat pukul satu dini hari. Ia akhirnya tidur bersama sang kakak, menutupi seluruh tubuh hingga kepala, berkeringat dingin dan dipenuhi rasa takut luar biasa. Sayangnya hal ini harus dialaminya hingga beberapa tahun ke depan.

Ini adalah film yang menjadi trauma beberapa generasi. lebih horor dari film horor! Lebih cuci otak dari film propaganda manapun!

Pada masanya, film Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara kenamaan Indonesia Arifin C Noer, dianggap sebagai kebenaran sejarah. Tapi bukankah kala itu sejarah cuma milik para penguasa? Film ini adalah proyek propaganda rezim yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaan.

Film Pengkhianatan G30S/PKI hanya mengambil satu-satunya sumber cerita, yakni dari Presiden Soeharto. Sangat masuk logika kemudian, Soeharto menjadi satu-satunya pahlawan, yang diberi peran sebagai penyelamat bangsa dan negara dari rongrongan orang-orang yang dicap komunis.

Profesor budaya Indonesia Krishna Sen dan David T. Hill berpendapat bahwa masukan kreatif Noer sangat minim dalam film ini. Sebaliknya, "untuk segala maksud dan tujuan", film ini adalah karya produsernya, Brigadir Jenderal Gufran Dwipayana, yang kala itu menjabat sebagai kepala PPFN sekaligus anggota staf kepresidenan.

Diluar segala kontroversinya, jika saya memandang film ini sebagai sebuah karya, maka film ini masuk dalam jajaran 10 film Indonesia terbaik yang pernah saya tonton. Sebuah maha karya. Struktur film ini kuat, dengan menggabungkan dokumenter dan teatrikal, karena itu tidak membosankan menontonnya.

Melibatkan hingga 10.000 cameo dan menelan biaya produksi hingga Rp 800 juta membuat film ini masuk jajaran film Indonesia dengan biaya produksi terbesar. Film ini ditonton oleh 699.282 orang di Jakarta pada akhir tahun 1984, sebuah rekor nasional yang tetap tak terlampaui selama lebih dari satu dekade.

Namun Sosiolog Ariel Heryanto mencatat bahwa murid sekolah Indonesia "diminta untuk membayar" untuk melihat film ini selama jam sekolah. Belum lagi PNS dan semua anggota dan keluarga ABRI (Nama TNI dan Polri kala itu) untuk berbondong-bondong datang ke Bioskop.

Soeharto yang melihat kesuksesan film ini akhirnya meminta untuk memproduksi sekuel. Dua sekuel oleh PPFN, Operasi Trisula (1987) dan Djakarta 1966 (1988) kemudian mengikuti, Operasi Trisula disutradarai oleh BZ Kadaryono, menceritakan tentang pemberantasan G30S dan anggota PKI di Blitar, Jawa Timur. Lagi-lagi semua menunjukkan Soeharto sebagai Pahlawan.

Pada 30 September 1998, penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI dihentikan. Penghentian setelah 13 tahun penayangan secara paksa itu terasa sungguh melegakan. Film ini telah menjadi propaganda pengultusan Jenderal Soeharto yang berkuasa semasa Orde Baru. Sayangnya, belakangan, masih ada yang menganggapnya sebagai sebuah kebenaran, meski banyak literasi hingga dokumenter yang memaparkan fakta sejarah dengan terperinci.

Tak heran, manusia hari ini lebih mencari pembenaran atas apa yang mereka percayai, ketimbang mempercayai kebenaran yang jelas tersaji.

Comments

Popular posts from this blog

Budi Pekerti, Jari-jari Era Post Truth yang Mengubah Hidup Bu Prani

  Wregas dengan sempurna mengorkestrasi isu guru, media sosial, kesehatan mental, SJW, era post truth, keluarga dan jurnalisme trending di bawah payung budi pekerti yang hari ini terasa kabur di antara bising dan tumpang tindihnya kebenaran banyak versi. Sejak adegan awal liburan keluarga Bu Prani di tepi pantai, saya tahu keempat tokoh utamanya akan punya karakter yang kuat. Cerita Budi Pekerti terbangun rapi. Letupan-letupan emosi terasa sepanjang film, hebatnya emosi itu ditampilkan dalam tatapan, mimik dan dialog-dialog yang terasa tak berlebihan.  Naskah yang indah didukung dengan performa ensemble empat tokoh utama yang sungguh luar biasa.  Alih-alih menjadi film drama, Budi Pekerti hadir seperti film ‘horor’ dengan ketegangan-ketegangan sepanjang film, penonton terbawa dan dibuat khawatir sekaligus ketakutan akan nasib Bu Prani dan keluarganya. Ini kisah tentang Bu Prani Siswoyo, seorang guru bimbingan penyuluhan (BP) di salah s...

Perihal Jenderal Besar Soeharto dan Wawancara Zuper Prof Salim Said

  "M aaf ya kalau saya bilang wartawan zaman sekarang ini banyak yang g*****, apalagi presenter berita **** itu, saya pernah diundang wawancara di studio itu bahas 65, bisa-bisanya dia bilang ‘ aduh Prof saya belum lahir tahun itu, nanti Prof aja yang ngomong banyak’ itu kan g***** namanya. dia kan punya mata buat baca ” ujar Prof Salim setengah emosi. Ketertarikan saya pada sosok Presiden kedua Indonesia, Soeharto dimulai kala bangku sekolah dasar. Di mata saya beliau adalah sosok bapak pembangunan bergelimang jasa untuk Indonesia. Apalagi sejak saya kecil Pak Harto sering angkat hasil panen raya di TVRI sambil senyum tiga jari . 😁   Hal ini semakin menjadi sejak kelas 1 SD hingga SMP, tiap malam 30 September kami, pelajar, dicekoki film Pengkhianatan G30S - PKI.  Delapan tahun film itu berhasil membangun imaji sosok "super" Soeharto di mata saya.   Imaji itu perlahan runtuh sejak saya kuliah, diskusi dengan beberapa kawan, literasi dan penelitian membuka mata. P...

Tragedi Berdarah Mangkok Merah

“Waktu itu di Bekayang di sungai kecil, saya melihat empat mayat mengapung semua tanpa kepala, itu semua saya ungkap” jelas Mas Dod membuka cerita liputannya di Kalimantan Barat 1967. Kalimantan Barat punya arti tersendiri bagi saya. Perjalanan  14 hari menyesapi barat Borneo 7 tahun lalu mempertemukan saya pada wajah ironi perbatasan Aruk, alam perawan Betung Kerihun - Sentarum, hommy-nya kampung dayak Sei Utik,  potret  kultur peranakan Singkawang, hingga tantangan labirin sawit di segala penjuru barat Kalimantan.   Sebuah wawancara dengan wartawan super senior Mas Joseph Widodo pertengahan Juni 2020 membuat saya sadar, ada yang luput dari perjalanan saya di Kalimantan Barat waktu itu.   Sebuah konflik antar etnis yang menjalar dari pedalaman Kalimantan Barat hingga Pontianak menelan ribuan korban jiwa.   Peristiwa  yang dikenal dengan nama Tragedi Mangkok Merah melibatkan tiga kelompok, Tentara , Masyarakat Dayak , dan kelompok pro-komunis, PGRS (P...