Cirebon, 3 Juli 2013.
Pagi itu saya sudah mandi dan berpakaian rapi.
Bahkan untuk pertama kalinya saya memakai parfum dan kemeja setelah 172 hari tanpa wewangian.
Ramon yang baru bangun dan menjadi “teman tidur” saya selama berbulan-bulan jadi heran.
“Kon lapo Mbon? Isuk-isuk kok wes tangi? nggawe parfum barang”
Kamu ngapain Mbon, pagi-pagi kok sudah bangun? Pake parfum segala.
Pertanyaan Ramon memang wajar dilontarkan,
Ratusan hari kami jarang pakai parfum.
Mentok deodoran.
Pakai kemejapun, saya tak pernah.
“Lho kene ate mulih yo Mon, kudu wangi rek”
Kan kita mau pulang, harus wangi dong.
3 Juli adalah hari dimana kami akan kembali ke Jakarta setelah menempuh perjalanan panjang yang dimulai 13 Januari 2013.
Perjalanan menyusuri Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Flores, Bali hingga kembali ke Jawa.
Sebuah ekpedisi dengan premis pertanyaan sederhana.
Sanggupah mengelilingi Indonesia dalam waktu 100 hari tanpa menggunakan pesawat?
Jawabannya,
jelas tidak!
Kami harus menghadapi kenyataan bahwa Indonesia memang tidak bisa dikelilingi selama 100 hari.
Padahal jalur yang kami lewati termasuk jalur yang paling “masuk akal” untuk dilewati, baik dari segi tranpsortasi dan kondisi jalur yang dilalui.
Pun cita-cita perjalanan tanpa menggunakan pesawat.
Mustahil!
Beberapa kali kami harus menggunakan pesawat karena jalur darat yang rusak parah.
Seperti yang terjadi saat kami ingin menuju Tanjung Redeb dari Samarinda, Kalimantan Timur.
Ini juga yang terjadi hampir 70% perjalanan di Papua.
Kedatangan kapal yang sebulan hanya beberapa kali juga jadi biang keladi kami terpaksa menggunakan pesawat.
Kami gagal menumpang KM Bukit Raya ke Natuna, karena waktu itu kapal dari Batam menuju Natuna baru ada tiga minggu lagi.
Kami menginap di banyak lokasi dengan beragam kondisi.
Mulai hotel layak huni, hotel ber”penghuni”,
hotel dengan bercak “aneh” di toilet, rumah kepala desa.
Penginapan pemda setempat, di dalam tenda,
di atas kapal, di atas sampan, dalam bus antar provinsi.
Di atas pickup, di pom bensin, losmen kelas melati,
hingga losmen yang diduga tempat prostitusi hahaha.
Menemui ratusan orang yang kadang menginspirasi, kadang bikin makan hati.
Beberapa momen kami juga hampir mati.
“Mbon kon eleng a kene tau meh nyemplung jurang pas nang Sumatera?”
Mbon kamu ingat nggak kita pernah hampir masuk jurang waktu di Sumatera.
“Elenglah Mon, opoko?”
Ingatlah Mon, kenapa?
“Lek dipikir kene iki ancen bonek (bondo nekat) ya”
Kalau dipikir kita ini modal nekat ya.
Ucapan Ramon di atas kereta Cirebon Ekspres yang membawa kami kembali ke Jakarta membuat saya sadar betapa “nekat”-nya kami tujuh tahun lalu.
nekat /ne·kat //nékat/ a 1 berkeras hati; dengan keras atau kuat kemauan; 2 terlalu berani (dengan tidak berpikir panjang lagi; 3 tidak mempedulikan apa-apa lagi (karena putus harap, hilang akal, malu sekali, dan sebagainya; 4 tetap tidak mau (mengalah, menurut, menyerah, dan sebagainya); bersikeras; mengotot.
Kenekatan yang berbuah cerita tentang indah dan kelamnya Indonesia.
Bagi kami 100 Hari Keliling Indonesia bukan hanya tentang ribuan kilometer yang telah kami tempuh bersama.
Ini adalah sebuah perjalanan yang mengeratkan kami.
Tidak hanya sebagai tim tapi sebagai keluarga yang saling melengkapi.
Perjalanan 100 Hari Keliling Indonesia bukan hanya tentang optimisme untuk dapat memenuhi target seratus hari,
tetapi juga tentang jatuh bangun kami untuk menuntaskan perjalanan kami.
Perjalanan yang mengubah cara pandang kami tentang Indonesia.
Tak sekadar indah, negeri ini menyimpan cerita ketimpangan dan ironi.
Dua sisi negara kepulauan terbesar di dunia, yang kadang bikin kami berbangga hati,
tapi juga tak jarang gigit jari.
----
Menyusuri lorong-lorong kota.
Membelah sungai.
Mendaki gunung.
Menyelami lautan biru.
Menembus belantara.
Menerawang perut bumi.
Menggapai angkasa.
Mencumbui Indonesia.
Terima kasih untuk perjalanan ini kawan.
Ini bukan hanya tentang indah dan kelamnya Indonesia.
Ini juga cerita tentang kita.
Cirebon, 03/07/2013
Cerita lain tentang 100 HKI :
Ihwal dialek Jawa Timur-an saya dan Ramon - Perihal Pembicaraan di Atas Truk
Penampakan di hutan terdalam Kalimantan - Yang Tak Terekam Kamera: Nenek, Air Meluap, dan Kentut Jahanam
Lanjutan penampakan - Nenek Hutan Perawan Betung Kerihun
Perihal pertama menyelam di luar Kep. Seribu - Beruang Sirkus di Bawah Laut Kakaban
Saat daun dijadikan rendang - Bilo Bliak Marandang di Payakumbuh
Comments
Post a Comment